Hukum Acara Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review Undang-Undang

Ketentuan pengujian Undang – Undang (UU) terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, dalam pasal 24 C ayat (1), bahwa Mahkamah Konstitusi salah satu wewenangnya adalah pengujian Undang – Undang terhadap Undang – Undang Dasar NRI 1945. Wewenang MK tersebut, memiliki pengaruh besar dalam konteks kontruktif maupun dekonstruktif terhadap tataran pengujian Undang – Undang bersifat nasionalitas, karena dapat berimplikasi terhadap berlaku atau tidaknya eksistensi undang – undang yang dilakukan pengujian oleh pemohon.

Ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, yang salah satu wewenangnya adalah pengujian UU terhadap UUD NRI 1945. Secara substansi, bahwa dalam Undang – Undang aquo tersebut, menjelaskan soal tugas, kewenangan, kewajiban, subyek hukum (legal standing), obyek yang dapat ditangani, maupun soal ketentuan spesifik mengenai hakim mahkamah konstitusi. Turunan UU Aquo tersebut, Peraturan pelaksanaan bersifat teknis dan operasionil, diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang terkait.

Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 6 Tahun 2005 tentang PUU (Pengujian Undang – Undang) terhadap UUD NRI 1945. Dalam substansi PMK tersebut, Bab II tentang Pemohon dan Materi Permohonan, Bab III tentang Tata Cara  Permohonan, Bab IV tentang Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang, Bab V tentang Pemeriksaan Persidangan, Bab VI tentang Rapat Permusyawaratan Hakim, Bab VII tentang Putusan.

Paling awal, suatu permohonan diajukan oleh pemohon. Pemohon yang memiliki kualifikasi sebagai pemohon, kualifikasi tersebut sebagai berikut:
  • orang perorangan atau kelompok yang memiliki kepentingan yang sama,
  • kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, 
  • badan hukum publik atau badan hukum privat, -lembaga negara. Dasar hukum pemohon tersebut, diatur dalam Pasal 3 PMK No. 6 Tahun 2005.

Hal yang penting , bahwa permohonan harus mendasarkan pada kerugian konstitusional yang muncul terhadap keberadaan undang – undang yang ada. Ada beberapa kriteria, terhadap kerugian konstitusional, meliputi:
  • adanya hak dan / atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI 1945, 
  • adanya hak dan / atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang – undang, 
  • kerugian hak dan / atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidak – tidaknya bersifat potensial yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi, 
  • ada hubungan sebab – akibat (causa verband) antara kerugian konstitusional Pemohon dan undang – undang yang dimohonkan untuk diujikan,
  • adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkan permohonan maka kerugian hak dan / atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi. Hal ini, diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 06/PUU-III/2005 dan Putusan No. 11/PUU-V/2007, sebagaimana mengartikulasikan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004.

Pembuatan permohonan pengujian Undang – undangan harus memperhatikan syarat formil dan materiil. Ketentuan permohonan sudah ada ketentuan spesifik, mulai format dokumen yang standar. Pencantuman identitas para pihak yang detail, elaborasi posita yang runtut, permintaan pada petitum yang korelatif yang didalilkan. Sesuai PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 5 ayat (1) berbunyi “Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap, memuat (a). identitas Pemohon yakni nama, tempat lahir, agama, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telpon, (b). Substansi dasar permohonan, yakni : -kewenangan Mahkamah Konstitusi, -kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, -alasan permohonan pengujian, (c). hal – hal yang di mohonkan agar diputus dalam pengujian formil, yakni : -mengabulkan permohonan pemohon, -menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD NRI 1945, -menyatakan UU tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, (d), hal – hal yang dimohonkan agar diputus dalam pengujian materiil, yakni : -menyatakan materi muatan ayat, pasal dan / atau bagian dari UU yang dimaksud bertentangan dengan UUD NRI 1945, – menyatakan materi muatan ayat, pasal dan / atau bagian dari UU yang dimaksud tidak memiliki kekuatan yang mengikat, (e). permohonan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa”.

Tata cara pengajuan permohonan Undang – Undang bertentangan dengan UUD NRI 1945, dilakukan oleh pemohon sendiri atau kuasanya. Berkas yang dibawa adalah sejumlah berkas persyaratan untuk didaftarkan ke MK RI. Sebagaimana PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 6 ayat (1) berbunyi “permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi melalui Kepaniteraan”, ayat (2) berbunyi “proses pemeriksaan administrasi bersifat terbuka dan dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh calon pemohon kepada panitera”.

Registrasi perkara dan penjadwalan sidang merupakan tahapan (step) yang dapat menjadi satu kesatuan terhadap perkara tersebut dapat berjalan atau tidak . Registrasi perkara sebagai pintu masuk (entry poin) terhadap pengecekan (ceklist) terhadap kelengkapan permohonan, kelengkapan dalam hal ini apakah syarat formil dan materiil, kemudian daftar bukti dan macam bukti. Setelah memenuhi syarat atas pengecekan tersebut, maka MK akan mencatat dalam BRBK dan diberi nomor resmi register. Setelah resmi diregister, panitera MK akan memberikan akta sebagai bukti resmi pencatatan. Hal ini dijelaskan dalam PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2).

Penjadwalan sidang merupakan tahapan setelah registrasi perkara sudah selesai. PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 8 ayat (1) berbunyi “Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua Mahkamah untuk menetapkan susunan Panel Hakim yang memeriksa perkara tersebut, setelah terlebih dahulu Panitera menetapkan Panitera Pengganti”

Panggilan sidang. PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 9 ayat (1) berbunyi “Pemberitahuan sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (3) sebagai panggilan harus sudah diterima oleh Pemohon atau Kuasanya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan”

Pemeriksaaan pendahuluan. PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 10 ayat (1) berbunyi “Pemeriksan pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim sekurang – kurangnya terdiri atas 3 (tiga) Hakim Mahkamah Konstitusi”. Berkaitan dengan Pasal 11 ayat (1) berbunyi “Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan”

Pemeriksaan persidangan. PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 13 ayat (1) berbunyi “Pemeriksaan persidangan adalah : (a). pemeriksaan pokok permohonan, (b). pemeriksaan alat – alat bukti tertulis, (c). mendengarkan keterangan Presiden / Pemerintah, (d). mendengarkan keterangan DPR dan / atau DPD, (e). mendengarkan keteranga saksi, (f). mendengarkan keterangan ahli, (g). mendengarkan keterangan pihak terkait, (h). pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan dan / atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat – alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk”

Pembuktian. PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 19 ayat (1) berbunyi “Macam – macam alat bukti yang dapat diajukan untuk diperiksa dipersidangan, adalah : (a). surat atau tulisan yang harus yang dapat dipertanggungjawabkan cara perolehannya secara hukum, (b). keterangan saksi di bawah sumpah mengenai fakta yang dilihat, didengar, dan dialaminya sendiri, (c). keterangan ahli dibawah sumpah sesuai dengan keahliannya, (d). keterangan pemohon, presiden / pemerintah, DPR dan / atau DPD, serta keterangan yang terkait langsung, (e). pihak yang diperoleh dari rangkain data, keterangan, perbuatan, dan / atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat – alat bukti lain, (f). alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu”

Rapat permusyawaratan hakim (RPH). PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 30 ayat (1) berbunyi “RPH mendengar, membahas, dan / atau mengambil keputusan mengenai : (a). laporan panel tentang pemeriksaan pendahuluan, (b). laporan panel tentang pemeriksaan persidangan, (c). rekomendasi panel tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan permohonan, (d). pendapat hukum (legal opinion) para Hakim Konstitusi, (e). hasil pemeriksaan persidangan pleno dan pendapat hukum para hakim konstitusi, (f). hakim konstitusi yang meranacang putusan, (g). rancangan putusan akhir, (h). penunjukan hakim konstitusi yang bertugas sebagai pembaca terakhir rancangan putusan, (i). pembagian tugas pembacaan putusan dalam sidang pleno”

Putusan MK merupakan akhir dari persidangan MK, termasuk pengujian UU. Putusan MK mahkota dari suatu persengketaan di MK. Mahkota hukum yang akan memberikan keadilan hukum bagi pemohon, termohon, dan pihak terkait.  Secara regulasi, putusan MK harus memenuhi anatomi struktur Putusan yang sistematis dan rigid, sebagaimana dalam PMK No. 06 Tahun 2005, Pasal 33 berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang – Undang, memuat : (a). kepala putusan berbunyi (irah –irah) yakni DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, (b). identitas Pemohon, (c). ringkasan permohonan yang telah diperbaiki, (d). pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan, (e). pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, (f). amar putusan, (g). pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi, dan (h). hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim Konstitusi, serta Panitera”
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review Undang-Undang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review Undang-Undang Reviewed by Naya Amin Zaini on 14.56 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.