NPHD dan Pilkada dalam Tinjauan Hukum
Naya Amin Zaini, S.H., M.H.
Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) merupakan dasar hukum dalam
bentuk perjanjian (agreement) antara Pemerintah Daerah (Pemda) dengan
Penyelenggara Pemilu, baik Bawaslu maupun KPU. NPHD sebagai pelaksanaan
dari ketentuan regulasi UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No.
23 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Daerah. Bahwa kedua
“regulasi induk” tersebut mengatur tentang relasi antara Pemerintahan
Daerah sebagai fungsi penyedia keuangan daerah, berkorelasi dengan
persiapan dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, baik pada tingkat
Provinsi maupun Kabupaten / Kota. Namun, secara praktek pelaksanaan NPHD
sudah terjadi dinamika rasionalisasi nominal dan persetujuan budget
NPHD didalamnya, bagaimana hal ini dapat terjadi.
UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, Bab XXII, Pasal
166 ayat (1) berbunyi “Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan dapat didukung oleh
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan”, ayat (3) berbunyi “Ketentuan lebih
lanjut mengenai pendanaan kegiatan Pemilihan yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) diatur dengan Peraturan
Menteri”. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Daerah,
Bab XI, Pasal 279 ayat (2) berbunyi “Hubungan keuangan dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah,
sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi : huruf d berbunyi pemberian
pinjaman dan / atau hibah, dana darurat, intensif (fiskal)”. Kedua norma
tersebut, secara eksplisit yang memberikan justifikasi NPHD terhadap
urusan pemerintahan daerah (Pemda).
Peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No. 900/9629/SJ, tanggal 18 September 2019, selain teknis,
prosedur, pelaksanaan dalam proses Hibah antara Pemda dengan
penyelenggara pemilu yakni Bawaslu dan KPU.
Permendagri tersebut, juga
membagi peran Pemda dalam proses Hibah, dengan perangkat strategisnya.
Ada TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) yang dikepalai oleh Sekda
(Sekretaris Daerah) dengan anggota berupa tim (pejabat perencanaan
daerah, PPKD, dan pejabat lainnya), tugas utama TAPD adalah penyusunan
APBD. Ada lagi, DPA-PPKD (Dokumen Pelaksanaan Anggaran – Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah), dihandel Bendaharawan Umum Daerah, tugas
utama adalah mendokumentasi seluruh pelaksanaan anggaran dari
dinas/badan/biro, dan sebagainya. Ada juga, APIP (Aparan Pengawas
Internal Pemerintah) yang berisi inspektorat Jenderal, baik berasal dari
pemerintah, KPU, Bawaslu.
Ketiga perangkat tersebut, secara strategis
berdasarkan tugas, pokok, fungsi dalam menjalankan proses Hibah. Disisi
penyelenggara pemilu adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum) pada tingkat
Provinsi dan / atau Kabupaten / Kota, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu)
pada tingkat Provinsi dan / atau Kabupaten / Kota. Sisi lain, dari pihak
Pemerintah Daerah (Pemda) pada Provinsi bernama Gubernur, pada level
Kabupaten bernama Bupati, pada level Kotamadya bernama Walikota.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.05/2017 tentang Administrasi
Pengelolaan Hibah, bahwa peraturan tersebut memberikan panduan tentang
tuntutan pengadministrasian dan pemberkasan dalam pengelolaan dana
Hibah, dengan baik dan benar. Pasal 13 ayat (1) berbunyi “Hibah harus
dituangkan dalam perjanjian Hibah”, bahwa pasal ini menekankan, harus
dalam bentuk perjanjian tertulis. Ayat (2) berbunyi “Perjanjian Hibah
paling sedikit memuat, (a) Identitas pemberi hibah dan penerima hibah,
(b) tanggal perjanjian hibah / penandatanganan perjanjian hibah, (c)
jumlah hibah, (d) peruntukan hibah, (e) ketentuan dan persyaratan
hibah”. Dapat dikatakan, bahwa norma tersebut sebagai kelengkapan syarat
formil terkait dengan perjanjian hibah itu sendiri.
Surat Keputusan Bawaslu RI Nomor 0343/BAWASLU/SJ/KU.00.03/VI/2019
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Di Lingkungan Badan Pengawas
Pemilu. Kaitan dengan pengelolaan dana (keuangan) hibah, bahwa Bab III
tentang Pejabat Perbendaharaan Negara, dalam Pengguna Anggaran (PA)
merupakan Ketua Bawaslu, sedangkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah
Kepala Sekretariatan Bawaslu. Wewenang KPA didalamnya terdapat Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) bertugas berkaitan dengan perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan. Bendahara Pengeluaran (BP) memiliki tugas inti
berkaitan dengan sirkulasi pengelolaan keuangan. SK Bawaslu No. 0343
tersebut, sebagai panduan (guiden) terhadap perangkat organ Bawaslu
dalam melaksanakan fungsi legalisasi (penandatangan), fungsi pengelolaan
keuangan, fungsi pembukuan, fungsi perencanaan. SK tersebut, lebih pada
aspek maintenance dan management struktur organ Bawaslu terhadap
pengelolaan keuangan.
Dalam perspektif tahapan Pilkada, merujuk Peraturan Komisi Pemilihan
Umum (PKPU) No. 15 Tahun 2019 tentang Jadwal, Program, Tahapan Pilkada.
Pada Pasal 3, berbunyi “Tahapan Pemilihan terdiri atas, yakni (a).
Tahapan Persiapan, (b). Tahapan Penyelenggaraan”, bahwa tahapan pilkada
mengenal 2 (dua) jenis, yakni tahapan persiapan dan tahapan
penyelenggaraan. Pasal 4 ayat (1) berbunyi “Tahapan persiapan yakni
dimaksud, huruf a berbunyi perencanaan program dan anggaran”. Tahapan
persiapan didalamnya ada jenis kegiatan salah satunya penandatangan
NPHD. Irisan Bawaslu sebagai pengawas dan sekaligus sebagai
penyelenggara pemilu, salah satu sumber budget (anggaran) berasal dari
NPHD, hal tersebut memiliki mandat hukum tahapan pemilihan untuk ikut
melaksanakan NPHD didalamnya. Setelah NPHD ditandatangani, penyelenggara
pemilu (Bawaslu dan KPU) akan melaksanakan kegiatan tahapan pemilihan,
sebagaimana program – program yang sudah dirancang dan disiapkan.
Dalam tinjauan ilmu perjanjian (agreement atau contractual),
sebagaimana merujuk Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa didalamnya mengatur
tentang syarat sahnya perjanjian memiliki 4 (empat) syarat, yakni (1).
Adanya kata sepakat bersama – sama, (2). Pihak yang cakap hukum, (3).
Obyek yang baik / halal, (4). Proses yang dibenarkan.
Syarat pertama, “adanya kata sepakat bersama – sama”, merupakan syarat
yang pertama dalam sebuah perjanjian (agreement) itu dilaksanakan. NPHD
merupakan basis ilmunya, merupakan kategori perjanjian yang berisi
pemberi hibah dan penerima hibah. Syarat “adanya kata sepakat bersama –
sama” dapat dilihat dari pihak pemberi hibah (Pemda) dan penerima hibah
(Penyelenggara Pemilu) dapat dilihat dari “verbal” yang diucapkan maupun
dapat dilihat dari “good will atau itikad baik” dalam setiap proses
perencanaan sampai pelaksanaan Hibah. Meskipun, secara regulasi sudah
sangat jelas dan tegas bahwa NPHD mandat hukum dan UU yang harus
dilaksanakan oleh Pemda, namun dalam praktek perencanaan dan realisasi
Hibah tidak semudah itu. Banyak faktor syarat “adanya kata sepakat
bersama – sama” terjadi anomali. Yang jelas, syarat ini harus didukung
dengan komunikasi, rasionalisasi, pembahasan bersama- sama, sampai
tertuang dalam naskah resmi tertulis bernama NPHD itu.
Syarat kedua, “pihak yang cakap hukum”, merupakan syarat kedua dalam
suatu perjanjian (agreement) NPHD itu. Bahwa syarat ini tidak begitu
menjadi tantangan berarti karena namanya pemberi hibah adalah kepala
daerah (Walikota / Bupati / Gubernur) suatu jabatan dari proses pemilu
yang panjang dan penerima hibah (penyelenggara pemilu) juga diseleksi
dari proses seleksi yang panjang, tentunya dalam kecakapan hukum sudah
teruji dan unggul. Cakap hukum dalam hal ini, yakni “tidak anak-anak,
tidak dibawah pengampuan, tidak terganggu kesehatan jiwa maupun
raganya”, sehingga ketika tidak termasuk kategori tersebut, dipastikan
pihak – pihak terkait sudah cakap hukum. apalagi pemberi hibah dan
penerima hibah atas nama jabatan dan lembaga tertuang SK
pengangkatannya.
Syarat ketiga, “obyek yang baik / halal”, merupakan syarat yang
berkaitan dengan obyek (sasaran) yang diatur dalam perjanjian. Bahwa
“obyek yang baik / halal”, yang penting tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku. Dikaitkan dengan NPHD, bahwa obyeknya sangat jelas yakni
berkaitan dengan “budget (anggaran)” yang berasal dari APBD, dalam
rangka untuk pelaksanaan PIlkada. Selain mengatur besaran budget, juga
mengatur tentang realisasi, pelaporan, force majure, addendum, dan
sebagainya.
Syarat keempat, “proses yang dibenarkan”, merupakan syarat yang
berkaitan dalam proses perencanaan, pembahasan, rasionalisasi tidak ada
tekanan, intervensi, tersandra. Kedua belah pihak pemberi hibah dan
penerima hibah, sama – sama berproses secara benar, pembahasan yang
benar, konstutusional, legitimate menurut hukum. ketika dilakukan
seperti itu, maka dipastikan, syarat “proses yang dibenarkan” sudah
terpenuhinya.
Keempat syarat diatas, merupakan syarat sahnya perjanjian (agreement)
termasuk NPHD didalamnya. Bahwa syarat tersebut bersifat akumulatif
(satu kesatuan) tidak boleh alternatif / terpisah / parsial. Ketika
syarat tersebut sudah terpenuhi semuanya, maka dipastikan bahwa proses
NPHD berjalan menurut koridor hukum. Namun, jika masih ada yang kurang
dari salah satu, maka perlu dilakukan pelengkapan (solusional) dari para
pihak, dengan cara bersurat secara resmi untuk diagendakan pembahasan
secara bersama – sama. Semoga dalam proses tahapan persiapan Pilkada
ini, yang bernama NPHD diseluruh daerah yang menyelenggaran Pilada
berjalan dengan lancar, baik, maksimal, dalam koridor hukum, tentunya
goal besarnya adalah untuk mewujudkan Pilkada serentak yang
berkuwalitas, integritas, martabat. Amiinn.
NPHD dan Pilkada dalam Tinjauan Hukum
Reviewed by Naya Amin Zaini
on
14.15
Rating:
Tidak ada komentar: