Catatan Penanganan Pelanggaran Pemilu 2019 di Kota Semarang


 Naya Amin Zaini, S.H., M.H.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi dan aspirasi, sebagai manifestasi kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945), baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum, hal inilah disebut sebagai esensi negara hukum (pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945)
Perwujudan dari sebuah ideologi demokrasi secara langsung adalah adanya pelaksanaan pemilu, dan diatur dalam pasal 22 E UUD NRI 1945 untuk pemilu legislatif, presiden-wakil presiden dan dewan perwakilan daerah. Sedangkan perwujudan demoktrasi untuk pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, didalamnya mengandung esensi pemilu di Indonesia untuk menyalurkan hak memilih dan dipilihnya sesuai dengan mandat konstitusi Undang-Undang Dasar NRI 1945, dan peraturan pelaksanaan dibawahnya.
Pelaksanaan Pemilu di Indonesia tak terlepas dari peran sentral penyelenggara pemilu yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), sebagaimana mandat UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Berkaitan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mempunyai tugas, kewenangan dan tanggungjawab dibidang pengawasan pemilu diseluruh tahapan pelaksanaan pemilu. Tugas utama Bawaslu melakukan pengawasan dengan cara pencegahan, penindakan dan penyelesaian sengketa. Strategi pencegahan harus dimaksimalkan, namun jika tetap terjadi pelanggaran maka harus dilakukan penindakan. Penanganan pelanggaran dapat melalui temuan yang melakat pengawas pemilu maupun laporan masyarakat, sebagaimana secara teknis diatur dalam Perbawaslu No. 21 Tahun 2018 tentang Pengawasan dan Perbawaslu No. 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Laporan dan / atau Temuan,  
Pada struktur penanganan maupun penindakan pelanggaran Bawaslu Kota Semarang seyogyanya telah melakukan tindakan yang strategis dan efesien sehingga permasalahan kepemiluan yang ditemukan maupun dilaporkan untuk segera dicarikan titik temu, sehingga dalam proses penanganan dan penindakan pelanggaran pemilu menjadi lebih optimal.
 Berkaitan dengan penanganan pelanggaran pemilu 2019, di Kota Semarang dari mulai awal tahapan pemilu yaitu pada bulan Agustus 2018 sampai dengan bulan Juli 2019 ini, Bawaslu Kota Semarang menyajikan data penanganan pelanggaran Pemilu sejumlah 45 (empat puluh lima) kasus pelanggaan pemilu, dengan rincian jenis pelanggaran administrasi sejumlah 29 (dua puluh sembilan) kasus, dugaan pelanggaran pidana sejumlah 10 (sepuluh) kasus, pelanggaran  terhadap peraturan perundang – undangan lainnya sejumlah 5 (lima) kasus, pelanggaran terhadap kode etik penyelenggara pemilu sejumlah 1 (satu) kasus.
Jenis pelanggaran administrasi yang sejumlah 29 (dua puluh sembilan) kasus, dengan rincian, dari unsur Calon Legislatif (Caleg) sejumlah 19 (Sembilan Belas) kasus, Caleg tingkatan Kab/Kota sejumlah 16 (Enam Belas) Kasus, Caleg tingkatan RI sejumlah 2 (Dua) kasus, Caleg tingkatan DPD sejumlah 1 (satu) kasus, dari unsur terlapor KPU dan jajarannya sejumlah 10 (Sepuluh) kasus. Bahwa dalam jenis pelanggaran administrasi produk yang menjadi output berupa surat rekomendasi, surat peringatan tertulis, surat himbauan, surat putusan adjudikasi, surat putusan acara cepat.
Jenis pelanggaran pidana yang sejumlah 10 (sepuluh) kasus, dengan rincian dari unsur Calon Legislatif (Caleg) sejumlah 6 (enam) kasus, Caleg tingkatan Kab/Kota sejumlah 4 (empat) kasus, Caleg tingkatan Provinsi sejumlah 1 (satu) kasus, Caleg tingkatan RI sejumlah 1 (satu) kasus, Pejabat Negara sejumlah 2 (Dua) Kasus, Setiap Orang (masyarakat) sebanyak 1 (satu) kasus. Beberapa subyek hukum yang menjadi pelaku diatas, bahwa gakkumdu memiliki tantangan yang berat dalam konteks penyamaan pemahaman terhadap kasus yang ditangani. Rata – rata yang dalam pembahasan kasus pidana pemilu tersebut, berhenti dalam pembahasan kedua. Pembahasan kedua memang memiliki tantangan yang besar dan berat, karena untuk menyamakan pemahaman ketiga (tiga) institusi Bawaslu, Kepolisian Kota Besar Semarang, Kejaksaan Negeri Semarang (three partried).
Jenis pelanggaran peraturan perundang – undangan lainnya sejumlah 5 (lima) kasus, dengan rincian 5 (lima) kasus tersebut dari unsur ASN. Output dalam penanganan jenis pelanggaran peraturan perundang – undangan lainnya, berupa Penerusan penanganan pelanggaran ke KASN untuk di tindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku, serta surat himbauan dan peringatan tertulis.
Jenis pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu sejumlah 1 (satu) kasus, hal ini diketahui saat bersamaan pelaporan pidana oleh pelapor. Subyek penyelenggara pemilu yang dilaporkan adalah penyelenggara pemilu yang terkait saat penggelembungan suara terjadi. Kemudian Bawaslu Kota Semarang memproses seluruh PPK Semarang Selatan, PPS Randusari, KPPS dan seluruh Panwascam Semarang Selatan. Bahwa dari seluruh penanganan kode etik tersebut, Ketua PPS Randusari, telah terbukti melakukan tindakan tersebut, sehingga melanggar dan direkomkan ke DKPP, sedangkan PPK Semarang Selatan direkomkan ke KPU untuk dihimbau tertulis dan ditindak sesuai mekanisme organisasi, Panwascam Semarang Selatan dijatuhi sanksi peringatan keras dan tertulis.
Dari sejumlah penanganan pelanggaran yang meliputi pelanggaran administrasi, pidana, peraturan perundang-undangan lainnya, dan etik, maka dapat ditarik beberapa evaluasi dan refleksi yang mendasarkan pada beberapa indikator substansiil dalam konteks penegakan hukum pemilu (law enforcement of election), menurut pemikir hukum oleh Lawrence M. Friedman, bahwa dalam kontek penegakan hukum dipengaruhi oleh legal subtains (isi hukum), legal cultural (budaya hukum), legal struktur (struktur hukum), kemudian dikembangkan oleh pemikir hukum Indonesia, Prof Soerjono Soekanto, ditambah menjadi sarana dan prasarana hukum (legal facilities). Beberapa indikator penegakan hukum tersebut, akan dilakukan elaborasi berdasarkan data riil kasus hukum yang ditangani oleh Bawaslu Kota Semarang, berikut indikator penegakan hukum, sebagai berikut :

a.    legal subtains (isi hukum)
Penegakan hukum pemilu di Kota Semarang, dipengaruhi oleh substansi hukum (isi hukum), isi hukum yang terkandung dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, isi hukum yang terkandung dalam Perbawaslu yang mengatur soal Pemilu 2019, isi hukum yang terkandung dalam PKPU yang mengatur soal Pemilu 2019. Berikut beberapa isi hukum (substansi hukum) yang terkandung didalam peraturan perundang – undangan kepemiluan yang sangat mempengaruhi ketidakefektifan dalam penegakan hukum kepemiluan, misalnya pasal 523 ayat (1) tentang money politik yang dilakukan pada tahapan kampanye, kemudian pasal 523 ayat (2) tentang money politik yang dilakukan pada masa hari tenang, pasal 523 ayat (3) tetang money politik pada hari pemungutan dan penghitungan suara, pasal 515 tentang money politik pada saat pemungutan suara. Bahwa ada 4 (empat) pasal tentang money politik tersebut, ada problem isi hukum bahwa yang dapat dikenai tindak pidana pemilu adalah pihak pemberi, sedangkan pihak penerima tidak dapat dikenai. Salah satu indikator penegakan itulah yang menjadi salah satu persoalan tersendiri.

b.    legal cultural (budaya hukum)
Penegakan hukum pemilu di Kota Semarang, dipengaruhi oleh budaya hukum, khususnya warga masyarakat (rakyat)  di kota semarang. Budaya hukum merupakan cipta, rasa, karsa, turun temurun, yang dilakukan sejak lama oleh daerah tertentu, khususnya di Kota Semarang. Suatu tindakan, perbuatan, cara pandang, kebiasaan yang sudah lama dilakukan oleh warga masyarakat di Kota Semarang, dikatakan hal tersebut sebagai budaya hukum masyarakat kota semarang. Budaya hukum masyarakat kota semarang, dapat diukur dari perspektif penegakan hukum terkait berapa banyak masyarakat kota semarang yang berani melaporkan suatu kasus dugaan pelanggaran ke Bawaslu Kota Semarang, setidak-tidaknya instansi yang memiliki kewenangan. Jika dari sekian banyak pelanggaran yang ditanganinya masih sedikit, maka budaya hukum untuk melapor, menaati, memberanikan diri masih tergolong perlu ditingkatkan. Jangan sampai budaya hukum bertolakbelakang, mereduksi, melemahkan, proses penegakan hukum, misalnya mendiamkan kasus, menyerah, hukum yang merepotkan diri, apalagi menjadi bagian dari mengacaukan hukum (disorder of law), misalnya menjadi pelaku, terkait, intelektual, ikut serta, pembantuan persoalan hukum kepemiluan.

c.    legal structur (struktur hukum)
Penegakan hukum pemilu di Kota Semarang, dipengaruhi oleh struktur hukum (hierarki hukum), struktur hukum di Indonesia maupun dalam ranah kepemiluan mengenal struktur atau hierarki hukum, mulai jenjang tertinggi ideologi hukum Pancasila, konstitusi UUD NRI 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Perda. Struktur hukum kepemiluan di Indonesia, setidak – tidaknya lokalitas di Kota Semarang. Di Indonesia mengenal hierarki hukum (struktur, tingkatan hukum), secara teoritik bahwa antara hukum diatas dengan dibawahnya tidak boleh terjadi benturan (conflict of law), tingkatan hukum di atur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Dalam konteks hukum kepemiluan masih terjadi persoalan struktur hukum, antara hukum diatas dengan dibawahnya tidak terjadi harmonisasi dan sinkronisasi. Misalnya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa dalam penjelasan pasal 284 membolehkan kampanye menggunakan biaya makan, minum, transportasi. Namun dalam PKPU No. 23 Tahun 2018 tentang kampanye tidak mengatur soal ketentuan tersebut, kemudian KPU RI mengeluarkan SE KPU No. 278/PL.02.4-Kpt/06/KPU/I/2019 mengatur soal biaya – biaya tersebut. Dalam konteks hierarki peraturan perundang – undangan tersebut, menjadi persoalan tersendiri karena tidak adanya harmonisasi dan singkronisasi antar jenjang peraturan perundang – undangan dalam kepemiluan.

d.    legal facilities (sarana dan prasarana hukum)
Penegakan hukum pemilu di Kota Semarang, dipengaruhi oleh fasilitas dan sarana pra sarana hukum yang ada di kantor – kantor penegakan hukum kepemiluan di Kota Semarang. Fasilitas kantor yang berkaitan dengan penggunaan sarana pra sarana, fasilitas, instrument dalam penggunaan perangkat penegakan hukum kepemiluan. Instrument penegakan hukum kepemiluan dalam penanganan tindak pidana pemilu terwadahi dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) Pemilu 2019, yang merupakan konsorsium 3 (tiga) lembaga, yakni Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, yang terdapat diberbagai jenjang kelembagaan. Dalam kontek penegakan hukum adminidtrasi pemilu tersaranai dengan model persidangan adjudikasi dengan Quasi Peradilan baik dengan adjudikasi biasa dan persidangan acara cepat. Kemudian dalam penegakan hukum yang mengurusi sengketa juga menggunakan model adjudikasi sengketa pemilu, baik peserta melawan peserta, maupun peserta melawan penyelenggara pemilu. Kesemuanya model penegakan hukum diatas, memerlukan instrument dan sarana pra sarana untuk mendukung penegakan hukum tersebut, sampai saat ini masih belum ada optimalisasi dalam kontek instrument dan sarana pra sarana tersebut, misalnya keterbatasan personalia yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu Pemilu yang masing – masing perwakilan Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan masih terbatas, sekitar 3 (tiga) personil dengan cangkupan cover area yang luas. Penggabungan penegakan hukum tindak pidana pemilu melalui Sentra Gakkumdu yang membutuhkan tempat representatif, kemudian dimarger dengan Sidang Adjudikasi Pelanggaran Pemilu dengan Quasi Peradilan acara biasa dan acara cepat. Penggabungan sarana pra sarana dengan sidang penyelesaian sengketa pemilu dengan Quasi Peradilan acara biasa sengketa Pemilu. Dalam konteks sarana dan prasana formulir – formulir yang dibutuhkan belum adanya spesifikasi masing – masing penanganan pelanggaran dan sengketa, belum lagi tantangan masing – masing personalia penegak hukum yang tidak tahu atau belum optimal dalam penggunaannya.
Catatan Penanganan Pelanggaran Pemilu 2019 di Kota Semarang Catatan Penanganan Pelanggaran Pemilu 2019 di Kota Semarang Reviewed by Naya Amin Zaini on 08.47 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.