Urgensi Judicial Review UU No. 10 Tahun 2016 dan Pengaruh Penindakan Pelanggaran

Naya Amin Zaini, S.H., M.H.
Rezim regulasi Pilkada terdapat dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, berbunyi “Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, Kota dipilih secara demokratis”. Hal ini, berbeda secara diametral dengan rezim regulasi Pemilu yang terdapat dalam pasal 22 E ayat (1), berbunyi “Pemilu dilaksanakan secara Luber dan Jurdil setiap lima tahun sekali”.

Regulasi pelaksanaan pilkada terdapat dalam UU No. 10 Tahun 2016, dimana pasal-pasal didalamnya mengatur soal Penyelenggara Pemilu dan Tukewanya, sudah tidak kontekstual, serta bertolak belakang dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bagaimana tinjauan hukum atas UU No. 10 Tahun 2016 terhadap urgensi Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pembahasan akan menggunakan normatif approach untuk menjawab problem statement diatas.

Judicial review adalah mekanisme pengujian UU terhadap UUD NRI 1945. Lembaga yang memiliki wewenang untuk Pengujian Undang-Undang (PUU) adalah Mahkamah Konstitusi. Hal ini, MK diatur menjalankan fungsi negative legislator (penguji atau pembatal legislasi). Fungsi ini dilakukan sebagai antitesa dari positif legislator (pembentuk legislasi) oleh DPR dan Presiden.

Wewenang MK termuat eksplisit dalam pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945, bahwa MK berwenang salah satunya, dapat melakukan “pengujian UU terhadap UUD NRI 1945”. Turunan regulasi pelaksanaan MK terdapat dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo PMK No. 6 Tahun 2005 tentang PUU jo PMK No. 19 Tahun 2009 tentang Tatip Sidang MK.

Judicial Review UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dapat dilakukan sepanjang jelas legal standing (kedudukan subyek hukum) yang akan melakukan permohonan. Subyek hukum (legal standing) sebagaimana dalam UU MK, pasal 51 ayat (1), meliputi ”Perorangan WNI, -Kesatuan masyarakat hukum adat, -Badan hukum publik atau privat, -Lembaga negara”. Bahwa Bawaslu termasuk kategori lembaga negara, sehingga dapat bertindak sebagai legal standing. Setelah itu, dipastikan kerugian konstitusionalitas pemohon. Menurut MK bahwa kreteria kerugian konstitusionalitas ada 5 (lima) kriteria, yakni “-Hak konstitusional diberikan UUD NRI 1945, -Hak konstitusional pemohon dirugikan adanya UU aquo, -Kerugian yang bersifat aktual dan spesifik, -Adanya hubungan sebab akibat (causa verband), -Jika dikabulkan maka tidak terjadi kerugian konstitusional yang dimaksud”. Kemudian, hukum acara teknis beracara diatur dalam PMK No. 6 Tahun 2005 tentang PUU terhadap UUD NRI 1945. PMK PUU tersebut, mengatur syarat, tata cara, mekanisme, proses persidangan.

Kepentingan pemohon dalam posita dan petitum permohonannya, untuk menyebut eksplisit terhadap pasal – pasal dalam UU No. 10 tahun 2016, yang menyebabkan kerugian konstitusionalitas dan bertentangan secara shohih terhadap Konstitusi UUD NRI 1945. Pasal yang termuat dalam UU No. 10 tahun 2016, meliputi pasal 23 tentang kelembagaan Panwas Kab/Kota yang masih berjumlah 3 (tiga) orang, pasal 30 dan 32 tentang Tukewa (Tugas, Kewajiba dan Kewenangan) Panwas Kab/Kota, pasal 123 tentang Pemantau Pemilu yang teregistrasi KPU, pasal 134 tentang penanganan laporan pelanggaranpemilihan.

Bahwa ke-5 (lima) pasal dalam UU No. 10 Tahun 2016 aquo berpotensi bertentangan dengan Konstitusi UUD NRI 1945 tentang pasal 18 tentang “Gubernur, Bupati, Wali Kota dilaksanakan secara demokratis” dan pasal 28 I ayat 4, berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Dalam posita dan petitum PUU tentunya akan harus dielaborasi dalam permohonan yang bersifat mendalam dan artikulatif serta didukung dengan fakta-fakta hukum yang dapat menyakinkan hakim MK.

Apa konsekuensinya jika tidak di JR dan/atau JR ditolak, maka pengaruh lemah terhadap penindakan pelanggaran, sebab UU No. 10 Tahun 2016 secara kelembagaan masih bernama Panwas kab / Kota, berjumlah 3 (tiga) orang dan tentunya 2 (dua) orang tidak diakui dalam UU No. 10 Tahun 2016, bersifat adhoc, tidak mengenal sidang adjudikasi, penanganan pelanggaran administrasi hanya bersifat rekomendasi, batasan waktu penanganan pelanggaran limitatif (3+2 hari), tidak punya wewenang dalam menangani TSM, melainkan dinaikkan ke Bawaslu Provinsi, tidak berwenang melakukan akreditasi pemantau pemilu.

Apa konsekuensinya jika JR dikabulkan, maka pengaruh positif terhadap penindakan pelanggaran. Sebab, pasal yang dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Kelembagaan dan Tukewa sudah dibatalkan dan dikembalikan secara utuh dan kuat sebagai lembaga Bawaslu Kab dan Kota seperti diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017.

Paling tidak, kelebihannya secara personil sudah utuh 5 (lima) personil, pelanggaran administrasi dengan mekanisme adjudikasi, dapat menangani Terstruktur, Sistematis, Masif (TSM), batasan waktu maksimalis (7+7 hari), wewenang akreditasi pemantau pemilu, dapat menangani inabsentia, secara kuat menangani sengketa proses pemilu dengan adjudikasi, dapat melakukan kegiatan pengembangan pengawasan partisipatif bersama masyarakat secara maksimal.

Demikian, tulisan opini sederhana tersebut dibuat, fokus opini mengkaitkan variabel JR UU No. 10 Tahun 2016 terhadap penindakan pelanggaran (law enforcement). Kesimpulan sementara bahwa adanya variabel yang saling mempengaruhi antara JR dengan penindakan pelanggaran pemilihan (pilkada).

Semoga hakim MK dapat menguji secara mendalam dan adil dalam memutus, demi pelaksankaan pilkada serentak 2020 yang demokratis, bermartabat, berkuwalitas, berintegritas. Semoga bermanfaat. Salam awas.!
Urgensi Judicial Review UU No. 10 Tahun 2016 dan Pengaruh Penindakan Pelanggaran Urgensi Judicial Review UU No. 10 Tahun 2016 dan Pengaruh Penindakan Pelanggaran Reviewed by Naya Amin Zaini on 23.04 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.