Opini "Mediator Pemilu" Sebagai Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu
Naya Amin Zaini, S.H., M.H.
Kepemiluan yang tercipta konflik, kasus, pelanggaran,
sengketa, suatu keniscayaan. Karena, Pemilu adalah ajang konstitusionalitas
untuk perebutan kekuasaan. Pemilu yang didalamnya ada Peserta Pemilu (Parpol),
Penyelenggara Pemilu (Bawaslu, KPU, DKPP), Masyarakat (Pemilih dan Stakeholders). Relasi pihak tersebut,
pasti akan mengandung suatu disorder (ketidaktertiban), baik dalam segi syarat
– syarat, prosedur, mekanisme dalam menjalankan suatu tahapan, jadwal, program,
yang diatur dalam PKPU No. 16 Tahun 2019.
Kesengketaan (Sengketa) dalam Pemilu, segi normatif diatur
dalam UU No. 10 Tahun 2016, Pasal 30 huruf C, tentang Kewenangan Bawaslu/Panwas
Kab/Kota dalam melakukan Penyelesaian Sengketa Pemilihan (PSP), Pasal 144 ayat
(1), bahwa Putusan bersifat mengikat kepada pihak – pihak yang melakukan
persengketaan.
Peraturan teknis – implementatif yang mengatur aturan main (rule and game), terdapat dalam
Perbawaslu No. 7 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Sengketa Pemilihan (PSP). Bahwa
Subyek yang dapat memohonkan sengketa adalah Peserta Pemilu (Parpol/Gabungan
Parpol) yang melakukan pengusungan Calon Kepala Daerah, dan / atau Calon
Perseorangan yang sudah memenuhi syarat dukungan kemudian mendaftar. Bahwa
Kepala Daerah yang berasal dari Parpol / Gabugan Parpol maupun Calon Perseorangan
memiliki kedudukan dalam mendapatkan
akses pelayanan dalam mendaftar, berkompetisi dalam ajang demokratisasi di
Pemilihan.
Pelayanan yang diberikan oleh KPU, sebagaimana mengacu
ketentuan dalam pencalonan perseorangan terdapat dalam PKPU No. 18 Tahun 2019
tentang Pencalonan yang berasal dari Parpol maupun Perseorangan. Apabila dalam
pelayanan oleh dan dari KPU mengakibatkan posisi peserta pemilu tidak
mendapatkan rasa keadilan. Hasil dari KPU berupa surat keputusan (bescikking) atau berita acara serta
perbedaan penafsiran yang tidak sama (berbeda-beda). Itulah, yang dapat menjadi
obyek untuk disengketakan.
Posisi dalam tahapan, jadwal, program Pilkada serentak 2020,
yang dilayani KPU. Mediator harus dapat menerawang terhadap potensi kemunculan
sengketa, dalam tahapan pencalonan perseorangan dapat terjadi sengketa ketika
ada calon mendaftar ke KPU, kemudian ditolak / tidak diterima oleh KPU.
Kemungkinan, apakah tidak memenuhi syarat administratif yang mengakibatkan
tidak diterimanya pencalonan. Kondisi itulah, menyebabkan rentan sengketa, yang
terjadi antara Peserta Pemilu (Calon Kada) dengan Penyelenggara Pemilu (KPU).
Obyek kesengketaan dapat juga terjadi ketika adanya perbedaan
penafsiran terhadap peraturan perundang – undangan yang diterapkan dalam proses
jadwal, program, tahapan, yang dijalani oleh peserta pemilu. Misalnya, dalam
tahapan pencalonan yang harus dikumpulkan KTP, surat pernyataan dukungan,
dengan jumlah prosentase sudah ditentukan dalam UU. Penafsiran terhadap
ketentuan (UU No. 10 Tahun 2016 atau PKPU No. 18 Tahun 2019) dapat terjadi
antara Peserta Pemilu (Calon Kada dari Parpol atau Perseorangan), berbeda
pemahamannya dengan penafsiran KPU. Penafsiran yang berbeda secara diamentral,
maka potensi dibawa ke ranah persengketaan. Skema tersebut, persengketaan
antara Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu, kewenangan absolut yang
dapat menyelesaikan adalah Bawaslu, dengan model musyawarahnya.
Dapat juga, sengketa terjadi antara peserta pemilu dengan
peserta pemilu. Obyek yang disengketakan adalah peselisihan dalam pemasangan
APK dan BK, dimana kedua belah pihak (peserta pemilu dengan peserta pemilu)
merasa dirugikan. Misalnya, ditutupi, saling merasa punya hak untuk memasang
ditempat yang tersedia, maupun akibat dari pengaturan zona pemasangan APK oleh
KPU, kemudian dalam praktek (pemasangan) kedua peserta pemilu tersebut, terjadi
konflik. Itulah, skema persengketaan antara peserta pemilu dengan peserta
pemilu. Dapat terjadi pula, ketika dalam kampanye disuatu lokasi terjadi
berbarengan yang dapat mengakibatkan bentrok dan konflik, hal itu juga sebagai
obyek pemilu sengketa.
Perbedaan yang signifikan antara Mediator Perdata dengan
Mediator Politik (Pemilu). Secara payung hukum, bahwa mediator perdata
dipayungi dalam dasar hukum KUHPerdata, bahwa setiap gugatan keperdataan, harus
memalui mediasi terlebih dahulu. UU Mahkamah Agung, bahwa hakim yang
menyidangkan kasus perdata, harus terlebih dahulu, melakukan mediasi diantara
pihak – pihak yang bersengketa. Turunan dari aturan hukum induk tersebut,
diatur dalam peraturan teknis yakni PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Petunjuk
Teknis Mediator dalam Mediasi. Secara waktu, bahwa Mediasi Perdata maksimal 30
hari, dapat diperpanjang menjadi 40 hari, mediator dapat berasal dari mediator
hakim dan mediator non hakim, mengenal model kaukus (pertemuan kedua belah
pihak antara mediator dengan salah satu yang bersengketa, kemudian dilanjutkan
pertemuan mediator dengan pihak yang bersengketa lainnya), tujuan kaukus adalah
menyelami, mengerti, mendalami atas keinginan pihak yang diajak kaukus
tersebut, sebagai bahan untuk disoundingkan dengan pihak yang bersengketa
lainnya.
Mediator Pemilu, diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 dan
diturunkan dalam Peraturan Teknis berupa Perbawaslu No. 7 Tahun 2016 tentang
Penyelesaian Sengketa Pemilihan. Jangka waktu, dalam memediasi maksimal 12
hari. Cara mediasi yang digunakan adalah musyawarah untuk mendapatkan
kemufakatan. Mediasi Pemilu tidak mengenal kaukus (pertemuan pihak salah satu
yang bersengketa), karena berpotensi melanggar kode etik penyelanggara pemilu,
soal netralitas dan integritas. Apapun yang dihasilkan dalam mediasi ada dua
kemungkinan, sepakat dalam kesepakatan, sehingga dituangkan dalam Putusan
Sengketa Pemilihan, atau sepakat dalam ketidaksekapatan, tetap tertuang dalam
Putusan. Bagi pihak yang tidak sepakat tersebut, dapat mengajukan upaya hukum
ke PTUN, namun yang diPTUNkan adalah SK dari KPU tersebut, tidak pada posisi
menyoal (menPTUNkan) putusan sengketa proses pemilu yang ditangani oleh
Bawaslu. Itulah skema penegakan hukum dalam ranah penyelesaian sengketa yang
terintegrasi dengan PTUN, bahwa pembatalan SK KPU yang mengakibatkan adanya
ketidakadilan bagi peserta pemilu.
Kredibelitas seorang mediator menjadi kunci utama dalam
menjalankan fungsi mediasi. Seorang mediator harus memegang prinsip – prinsip
dalam menjalankan tugas mediator. Mediator sebagai juru damai, juru solusi,
juru penengah terhadap pihak – pihak yang bersengketa. Prinsip yang diemban
secara fundamental ialah prinsip netralitas, imparsialitas, integritas,
profesionalitas. Prinsip tersebut, sebagai pemandu bagi mediator untuk
memainkan peran mediasi yang kreatif dalam mencari solusi.
Perangkat yang dipersiapkan bagi mediator adalah yang paling
utama berupa skill (kemampuan),
meliputi pengetahuan hukum dan keterampilan hukum. pengetahuan hukum yang
menjadi landasan hukum terhadap persoalan hukum itu sendiri. Keterampilan hukum
adalah kemampuan teknis hukum, misalnya mengelola forum, penggunaan formulir
yang terkait, keterampilan dalam bertanya
dan menggali inti kasus hukum itu sendiri. Sarana pendukung adalah ruang
mediasi dan instrument mediasi lainnya.
Mediator dalam pelaksanaan proses mediasi, memiliki peran
strategis untuk mengatur lalu lintas dalam proses mediasi. Mediator didampingi
asisten mediator, bertugas untuk mencatat setiap proses mediasi, menyiapkan
daftar hadir, notulensi mediasi, risalah putusan mediasi, meskipun dalam
mediasi terjadi kesepakatan atau tidak kesepakatan, dalam mediasi harus
terputuskan. Mediator pertama, akan menyapa pihak pemohon sengketa, baik secara
prinsipal atau didampingi kuasa hukum, dengan pertama kali untuk memperkenalkan
diri terlebih dahulu. Kemudian gantian, menyapa pihak termohon sengketa,
prinsipal dan kuasa hukum, jika didampinginya.
Setelah penyampaian identitas masing – masing pihak, mediator
memimpin substansi terhadap akar persoalan yang akan dimediasi. Mediator
membacakan aturan main dalam proses mediasi, misalnya yang memiliki hak untuk
menyampaikan pendapat adalah prinsipal pemohon, dan pihak kuasa hukum hanya
mendampingi saja. Prinsipal membacakan permohonan dan hal yang diinginkan,
setelah itu prinsipal termohon sengketa membacakan termohon dan hal – hal yang
diinginkan. Bahwa dalam proses mediasi tidak boleh mengutamakan menang dan
kalah (winner and lost), ada pihak
yang agar tuntutannya diterima semua, dan kemudian ada pihak yang kalah.
Prinsip tersebut, tidak dikehendaki dalam proses mediasi, bahwa mediasi harus
menjunjung prinsip semua menang (win –
win solution). Pihak pemohon dan pihak termohon, harus sama – sama menang,
yang tuntutannya tinggi diturunkan dan yang turun dinaikkan, sehingga dalam
posisi equilibrium (keseimbangan) dan
konvergensi (titik temu).
Mediasi dalam penyeleseaian sengketa proses pemilihan diatur
dalam UU No. 10 Tahun 2016 Juncto Perbawaslu No. 15 Tahun 2017 tentang
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan. Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan
secara kompetensi dibagi menjadi 2 (dua) model, yakni Penyeleseian Sengketa
Proses Pemilihan dengan acara biasa, caranya bermusyawarah agar mendapatkan
mufakat. Kedua, Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan dengan acara cepat,
caranya bermusyawarah dengan harus diselesaian atau diputus dengan waktu cepat.
Mediasi pada waktu penyelesaian sengketa pemilihan dengan
acara biasa caranya musyawarah, dilaksanakan maksimal 12 (dua belas) hari,
didalamnya adanya cara untuk mediasi, agar pihak – pihak yang terkait dapat
menyelesaian sengketa mendapatkan hasil yang terbaik. Permohonan dari pihak
pemohon mengajukan (mendaftarkan) sengketa kepada Bawaslu Kab/Kota untuk
mempersoalkan kepada pihak termohon (penyelenggara pemilu dan / atau peserta
pemilu).
Subyek yang dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa
proses pemilihan (PSPP), ialah peserta pemilu. Peserta pemilu ialah pihak –
pihak yang sudah resmi terdaftar oleh KPU, yang ikut dalam kompetisi pemilihan
kepala daerah. Peserta pemilu terdiri dari parpol pengusung maupun gabungan
parpol dalam mencalonkan kepala daerah, maupun peserta pemilu adalah calon
perseorangan yang sudah memenuhi ketentuan, baik syarat dukungan maupun
kesebarannya. Subyek peserta pemilu yang bersengketa dengan penyelenggara
pemilu, tentang bobot sengketa yang berat, misalnya menghilangkan hak
konstitusional peserta pemilu maupun berdampak kerugian yang besar, yang
menimpa bagi peserta pemilu, atas akibat dikeluarkannya surat keputusan atau
berita acara dalam penetapan oleh KPU.
Obyek yang dapat dimohonkan sengketa oleh peserta pemilu
terhadap penyelenggara pemilihan. Kasus sengekta yang berpotensi PSPP, harus
diselesaikan dengan model musyawarah adalah penetapan calon perseorangan, calon
yang diusung oleh parpol atau gabungan parpol, penetapan zona kampanye,
penetapan fasilitasi APK-BK. Sedangkan, obyek kasus yang dapat dimohonkan
peserta pemilu terhadap peserta pemilu adalah konflik pemasangan APK-BK,
pelaksanaan kampanye yang berbarengan, tim kampanye yang ganda masuk di masing
– masing tim sukses, pemasangan atribut politik yang masuk dalam daerah parpol
lain, konflik antar masing-masing DPC baik intern parpol maupun antar porpol.
Hukum acara permohonan sengketa diajukan oleh peserta
pemilihan dengan mengajukan secara tertulis. Pemohon menyertakan kelengkapan
syarat formil dan materiil, Bawaslu akan memberikan tanda terima, kemudian akan
dilakukan penelaahan. Setelah itu, dilakukan penunjukan majelis pemeriksa
sengketa. Waktu yang dibutuhkan adalah 12 (dua belas) hari kalender, meskipun
menggunakan kalimat musyawarah, namun didalamnya menggunakan hukum acara
adjudikasi. Hukum acara adjudiakasi yang diawali, permohonan sengketa, kemudian
jawaban permohonan, bukti – bukti dari pemohon dan termohon, saksi – saksi dari
pemohon dan termohon, kesimpulan, putusan.
Hukum acara mediasi yang dilakukan oleh mediator. Ada 9
(Sembilan) pengantar (sambutan) mediasi dan 10 (sepuluh) tahapan mediasi.
Adapun 9 (Sembilan) pegantar tersebut adalah tahapan basa basi, tahapan
apresiasi, tahapan perkenalan mediator dan para pihak, tahapan otoritas pengambilan
keputusan, tahapan penjelasan mediasi, tahapan kode etik, tahapan pelekasanaan
mediasi, tahapan tata tertib, tahapan untuk menanyakan kembali adakah
pertanyaan. Dalam tahapan ke-7 (tujuh) disisipkan tahapan – tahapan mediasi
yang berjumlah 10 (sepuluh) tahapan, sebagai berikut : -tahapan pendahuluan,
-tahapan sambutan mediator, -tahapan presentasi para pihak, -tahapan kesepemahaman
awal, -tahapan identifikasi masalah, -tahapan negosiasi, -tahapan pertemuan
terpisah (kaukus), -tahapan
pengambilan keputusan akhir, -tahapan penyusunan kesepakatan, -tahapan
penutupan.
Mediator sebagai penengah, maka keseimbangan antara para
pihak harus dijaga dan dilaksanakan. Tidak boleh berat sebelah, condong kesalah
satu pihak pemohon dan / atau termohon. Ketika terjadi berat sebelah maka
esensi dan kode etik mediator tercederai. Kesebelahberatan salah satu
menyebabkan, pertanyaan dan sambutan serta gerakan badan (gesture) akan tidak imbang. Mediator tidak boleh benturan
kepentingan (conflict of interest).
Benturan kepentingan dimaksud adalah tidak ada hubungan kekerabatan dan
kekeluargaan atau relasi lainnya, antara mediator dengan para pihak maupun
salah satu pihak. Jika terjadi, maka hal ini akan mempengaruhi keobyektifitasan
dalam menjalankan proses mediasi. Misalnya, dalam upaya memberikan solusi dan
mempertanyaan hal – hal yang ditanyakan, ketika adanya hubungan kekerabatan,
peran mediator tidak akan maksimal dan pasti terkontaminasi. Mediator harus
transparan dalam memediasi, baik dalam hal identifikasi masalah, membuat
kesepemahaman maupun melakukan tindakan pertemuan sepihak (kaukus). Mediator
harus terampil dalam membuat bahan – bahan yang dibutuhkan dalam memediasi,
milsanya tabel T (identifikasi masalah), draf kesepemahaman, draf keputusan
bersama, terampil bertanya yang bersifat solusi kedepan, tidak terjebak pada
subyek masalah, namun obyek masalah yang bersifat mendasar. Mediator terampil
dalam mendalami dan menyelami hal – hal yang dikehendaki oleh para pihak. Aspek
yang ditekankan oleh mediator adalah pemulihan (recovery), semua menang (win
– win solution), juru damai semua pihak.
Mediator memiliki obsesi kuat dalam mendamaikan dan
menyelesaikan pihak yang bersengketa, karena agar para pihak mendapatkan
gambaran yang utuh, jika suatu masalah akan berlanjut ke proses peradilan, maka
akan terjadi dan mendapatkan putusan pengadilan yang menang kalah, biaya yang
dikeluarkan banyak, waktu yang ditempuh akan tergunakan dengan banyak, akan
terjadi konflik dan meretakkan hubungan pihak yang bersengketa, jenjang
kepastian hukum akan panjang dari pengadilan tingkat awal sampai mahkamah agung
dengan peninjauan kembali, proses yang panjang. Dengan demikian, mediasi oleh
mediator sebagai arus baru dan tepat dalam menyelesaikan setiap masalah (sengketa)
para pihak.
Opini "Mediator Pemilu" Sebagai Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu
Reviewed by Naya Amin Zaini
on
21.36
Rating:
Tidak ada komentar: