Catatan Diskusi "Lunpia" tentang Penindakan Pelanggaran Pilkada
Dikusi "Lunpia" pada hari Jum'at, 10 Januari 2020, pukul 13.30 s/d selesai, bertempat di Bawaslu Kosem, dipandu host Bangkit Permadi, mengambil tema seputar penindakan pelanggaran Pilkada, acara dibuat ngobrol santai, namun substansi yang disampaikan seputar Pilkada.
Panwascam memiliki wewenang untuk menerima laporan dugaan
pelanggaran dalam Pilkada. Hal ini diatur dalam pasal 33 UU No. 10 Tahun
2016. Sedangkan, Bawaslu Kota Semarang
dapat melaksanakan wewenang (represif) hukumnya dalam pasal 30. Perbawaslu No.
14 Tahun 2017 tentang laporan / temuan pelanggaran. Perbawaslu No. 14 Tahun
2016 tentang Keputusan Bersama Polisi, Jaksa, Bawaslu tentang Pembentukan
Gakkumdu.
Alur penanganan pelanggaran dalam pilkada (pemilihan), diawali
dari temuan atau laporan. Temuan adalah penemu pengawas pemilu, dibatasi waktu
7 hari sejak diketemukan. Sedangkan, laporan adalah pelapor, meliputi warga
negara yang punya hak pilih, peserta pemilihan dan pemantau pemilihan. Laporan
dibatasi waktu maksimal 7 hari sejak terjadi / diketahuinya.
Laporan dan temuan, harus memenuhi syarat formil dan
materiil. Syarat formil, berupa identitas pelapor dan terlapor, jangka waktu,
pengisian form terkait. Syarat materiil, berupa uraian peristiwa, saksi –
saksi, bukti – bukti. Laporan dapat disampaikan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung, dengan datang ke kantor pengawas pemilu. Secara
tidak langsung, dapat menyampaikan melalui surat dilampiri bukti terkait, maupun
laporan melalui website/hotline/WA/email/fax.
Setelah itu, dilakukan penanganan pelanggaran dengan cara
klarifikasi pelapor, terlapor, saksi, keterangan ahli, pengumpulan bukti, buat
kajian pelanggaran. Proses penanganan tersebut, dibatasi waktu maksimal 5 hari.
Dalam pembuatan kajian, harus ada kesimpulan yang didapat. Lingkup kesimpulan,
meliputi tidak pelanggaran, mengandung pelanggaran, maupun sengketa. Apabila
pelanggaran, maka jenis pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana,
pelanggaran hukum lainnya, pelanggaran etika. Kesimpulannya, pelanggaran
administrasi direkomekan ke KPU. Hukum lainnya ke instansi berwenang. Etika
dapat ditangani sendiri atau ke KPU atau ke DKPP. Pidana bersama atau ke
Gakkumdu.
Pelanggaran administrasi adalah pelanggaran yang tidak sesuai
syarat, prosedur, mekanisme, yang diatur dalam UU maupun PKPU masing-masing
tahapan. Dalam pilkada ada 13 (tiga belas) tahapan. Masing – masing tahapan
pasti adanya ketentuan syarat, prosedur, mekanisme yang harus dijalankan.
Misalnya, tehapan rekruitmen PPK-PPS, tahapan Mutarlih ialah DP4 disandingkan
Pemilu terakhir menjadi DPS, kemudian dimutakhirkan menjadi DPT. Tahapan
pencalonan. Tahapan penetapan calon. Tahapan kampanye. Tahapan logistic.
Tahapan pemungutan dan penghitungan serta rekapitulasi. Tahapan penyampaian
surat suara. Tahapan penetapan hasil pemilihan. Terhadap, masing tahapan yang
tidak sesuai syarat, prosedur, dipastikan pelanggaran administrasi, hasil dari
penanganan adalah rekomendasi ke KPU. Isi dari rekomendasi untuk melaksanakan
ketentuan yang berlaku.
Pelanggaran pidana adalah pelanggaran yang terjadi dengan
melanggaran ketentuan pasal – pasal pidana dalam UU No. 10 Tahun 2016. Ada sekitar
43 pasal – pasal pidana yang diatur dalam UU aquo tersebut. Karakteristik pelanggaran pidana yakni ditangani
oleh Sentra Gakkumdu Pemilihan, konsekuensi pelanggaran diancam dengan penjara
dan denda, dapat berkonsekuensi status hukum tersangka dan dapat ditangkap dan
tahan. Misalnya kasus nyata tindak pidana pemilihan yakni kasus politik uang
pilkada. Kasus pemalsuan daftar pemilih. Kasus Pemalsuan syarat dukungan
pencalonan. Kasus menggagalkan pleno. Kasus pemberian suara lebih dari satu
kali. Kasus pejabat negara / ASN yang
membuat kebijakan atau tindakan yang merugikan / menguntungkan paslon.
Pelanggaran hukum lainnya adalah pelanggaran yang melanggar
ketentuan hukum selain (diluar) rumpun pemilihan (Pilkada), misalnya melanggar
UU Desa untuk pendamping desa, UU BUMN untuk pegawai BUMN, UU ASN untuk PNS,
dsb. Pihak yang diatur UU tersebut, misalnya melanggara netralitas.
Ketidaknetralitasan TNI dan Polri, dimana sudah diatur dalam UU tersendiri.
Dengan demikian, dapat dikatakan melanggar ketidaknetralitasan, masuk dalam
rumpun pelanggaran hukum lainnya.
Pelanggaran kode etik, pelanggar lembaga ad hoc Bawaslu maka
dapat ditangani oleh Bawaslu Kota. Namun, yang melanggar adalah ad hoc KPU
dapat direkomkan ke KPU. Jika pelanggarnya KPU dan Ad Hoc, direkomkan ke DKPP.
Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang kode etik penyelenggara pemilu dan
Perbawaslu No. 4 Tahun 2019 tentang Penanganan Kode Etik bagi Penyelenggara Ad
Hoc Bawaslu.
Alur penanganan pelanggaran tersebut, dikaitkan dengan
tahapan saat ini, misalnya issue rekruitmen PPK dapat ditanganinya. Misalnya
pelanggaran administrasi melebihi 2 kali periode, adanya tali perkawinan sesame
penyelenggara pemilu, anggota / pengurus Parpol, pengumuman yang tidak
transparan / ditempat yang benar, dsb. Itu adalah ranah pelanggaran
administrasi, maka dapat direkomkan ke KPU untuk kembali sesuai ketentuan
berlaku.
Issue soal pelanggaran dikaitkan dengan
pencalonan. Pencalonan dapat melalui jalur parpol atau gabungan parpol, maupun
perseorangan. parpol atau gabungan parpol memenuhi 20 % dari jumlah kursi di
DPRD maupun 25 % dari DPT pemilu terakhir. Adanya persetujuan dari DPP, jika
tidak ada SK persetujuan dari Parpol, maka potensi melanggar pasal 186 A.
Calon yang berasal dari Anggota DPRD / DPD / TNI / Polri /
ASN / Kades / Lurah, harus menyatakan pengunduran diri secara tertulis, sejak
ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan. Sedangkan, BUMN harus berhenti dari
Jabatannya, sejak ditetapkan sebagai paslon pemilihan. Hal ini diatur dalam UU
No. 10 Tahun 2016, pasal 7 ayat (2) huruf s dan t, dan PKPU No. 18 Tahun 2019,
pada pasal 4.
Khusus Petahana, diatur secara ketat pada UU No. 10 Tahun
2016, Pasal 71 ayat (2), tentang “GBW
dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan Paslon
sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan menteri”.
Pasal ini, melarang petahana yang bakal maju dengan batasan waktu dari tanggal
8 Januari 2020 s/d 8 Juli 2020, kecuali ada surat persetujuan tertulis dari
Mendagri. Namun, jika terjadi kekosongan jabatan, maka GBW menunjuk PLT
(pejabat pelaksana tugas).
Khusus petahana, diatur juga UU N0. 10 Tahun 2016,
Pasal 71 ayat (3), tentang “GBW dilarang
menggunakan kewenangan, program, dan atau kegiatan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu Paslon baik didaerah sendiri maupun di daerah lain dalam
waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan Paslon sampai dengan penetapan Paslon
terpilih”. Pasal ini, melarang petahana juga, dengan wewenag, program,
kegiatan dari tanggal 8 Januari 2020 s/d 8 Juli 2020.
Konsekuensi jika melanggar pada pasal 71 ayat (2) dan (3),
maka ada 2 konsekuensi yang berpotensi berurusan, yakni (1). Sanksi pembatalan
(diskuwalifikasi), dan (2). Sanksi Pidana pada Pasal 190 UU N0.10 Tahun 2016.
Bunyi pasal 190, ialah “Pejabat yang
melanggar pasal 71 ayat (2) atau pasal 162 ayat (3) dipidana penjara paling
singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan / atau denda paling sedikit 600
ribu atau paling banyak 6 Juta”.
Cara mengoperasionalkan sanksi pembatalan (diskuwalifikasi)
dengan cara menangani menggunakan Perbawaslu No. 14 Tahun 2017, kemudian
dilakukan penanganan (klarifikasi-klarifikasi) dan kajian pelanggaran. Dari
hasil kajian pelanggaran, direkomendasikan ke KPU untuk dilakukan pembatalan
(diskuwalifikasi), sebagaimana Pasal 71 ayat (5).
Berbeda halnya, dengan kasus TSM (Terstruktur, Sistematis,
Masif), dimana konsekuensi terberat adalah pembatalan (baik kepada petahana
maupun non petahana). Diatur dalam Perbawaslu No. 13 Tahun 2016 tentang
Pelanggaran TSM. Yang memiliki wewenang untuk menggelar sidang TSM, dengan
jangka waktu 14 hari kerja. Model pengerjaan adalah ajudikasi. Yang memiliki
wewenang kompetensi adalah Bawaslu Provinsi.
UU No. 10 Tahun 2016, Pasal 71 ayat (1), tentang “Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN,
anggota TNI/Polri, dan Kades / Lurah, dilarang membuat keputusan dan/atau
tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Paslon”. Calon adalah
peserta pemilihan yang diusung parpol / gabungan parpol yang didaftarkan ke
KPU. Subyek hukum sebagai peserta pemilihan, ketika sudah mendapatkan penetapan
pasangan calon pada tanggal 8 Juli 2020.
Catatan Diskusi "Lunpia" tentang Penindakan Pelanggaran Pilkada
Reviewed by Naya Amin Zaini
on
21.10
Rating:
Tidak ada komentar: