RECHTSIDEE FOUNDING FATHERS SEBAGAI PEMBANGUNAN SUBSTANSI HUKUM


 

RECHTSIDEE FOUNDING FATHERS SEBAGAI PEMBANGUNAN SUBSTANSI HUKUM

Naya Amin Zaini,[1] Khudzaifah Dimyati,[2] Absori,[3]


Abstrak

Rechtsidee sebagai ide (cita) hukum yang bersifat inti (mendasar). Founding fathers ialah pendiri bangsa yang aktif dalam mencurahkan pemikiran inti untuk orientasi ideologi negara. Forum pemikiran inti tersebut, terdapat dalam BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan, diidentikkan sebagai forum ijtihad-ideologis. Salah satu inti pembahasan (ijtihad) yang mendasar, tentang cita hukum (rechtsidee) dan memperkuat negara hukum (rechtstaat). Penguatan negara hukum, tidak terlepas dari konstruksi substansi hukum yang dikehendaki sebagai jati diri Indonesia. Substansi hukum yang ditarik dari ide hukum (rechtidee) pendiri bangsa, ditranspormasikan dalam substansi hukum dalam ranah peraturan perundang – undangan yang berlaku. Substansi hukum, dapat dilihat dari konfigurasi pokok bahasan dan inti pemikiran yang berasal dari forum ijtihad-ideologis. Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian, ialah deduktif (umum ke khusus), pendekatan filosofis, paradigma non doktriner, bahan hukum primer. Hipotesis dalam penelitian tersebut, bahwa substansi hukum yang dimasukkan dalam tatanan hukum, harus mendasarkan pada rechtsidee dari para pendiri bangsa Indonesia.

 

Kata Kunci : Rechtsidee founding fathers, substansi hukum.

 

Pendahuluan

Rechtsidee ialah cita hukum yang menyelimuti hukum, baik hukum tertulis (writers) maupun tidak tertulis (unwriters), sebagai penegasan rechtstaat (negara hukum). Rechtsidee dapat dikatakan nyawa dan energi yang dapat menggerakkan arah hukum yang dikehendaki. Manifestasi rechtsidee ialah norma – norma yang tercantum dalam peraturan perundang – undangan. Persenyawaan ideologis dari norma ialah rechtsidee itu sendiri.

Rechtsidee diwujudkan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) Indonesia. Perwujudan tersebut, dapat dilihat dari pemikiran inti (core value) yang muncul pada konfugurasi perdebatan BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan. Para tokoh tersebut, berpidato sebagai arah pemikiran yang hendak dirancang bangun serta internalisasikan pada fundamentalisme negara. Tokoh pendiri bangsa secara kategoris ada kalangan nasionalisme – islam dan ada kalangan nasionalisme – kebangsaan. Ada juga, mengkategorikan nasionalisme – islamisme dan nasionalisme – sekuler. Terlepas itu semua, persenyawaan rechtsidee yang muncul dapat diteliti secara kuantitatif pada diksi ideologis yang muncul. Hal ini, dapat menggambarkan arah rechtidee yang hendak dibangun dalam memperkokoh tatanan negara hukum (rechtstaat) Indonesia.

Rechtsidee secara realitas akan dihadapkan problematik dan tantangan yang bersifat komplek. Karena adanya tarik menarik bendulum ideologis, para pembuat hukum akan memasukkan kepentingan hukum, ekonomi, politik dalam substansi hukum, yang terjadi pada setiap proses legislasi. Bagaimanapun juga, kepentingan hukum yang didasari atau dipersenyawai ideologi hukum didalamnya, menjadi legitimasi hukum yang kuat. Secara tarik – menarik ideologi hukum, ada yang mengandung ideologi hukum yang memberikan penguatan atas justifikasi dan legitimasi hukum kearah penguatan individual (private) disebut sebagai ideologi hukum liberal, ada juga memberikan penguatan kearah penguatan kolektif absolut. Penguatan individual dapat berwujud hegemoni dan dominasi penguasaan sumber daya alam secara personal maupun private, maupun menjauhkan nilai keperpihakan kemanusiaan dalam bingkai ketuhanan, disebut teo-humanisme yang menjadi cikal bakal arus sekulerisme. Makna dari penguatan kolektivisme absolute, sebagai peniadakan dan menihilkan kedaulatan individual yang proposional.

Metode penulisan yang digunakan dengan pendekatan filosofis. Paradigma penulisan yang digunakan, lebih pada non doktriner. Kerangka berfikir dengan deduktif, ialah dari umum ke khusus. Bahan yang digunakan, merupakan bahan hukum primer, berupa dokumen risalah BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan. Pokok masalah yang disampaikan, bagaimana membangun substansi hukum yang dijiwai oleh rechtsidee founding fathers di Indonesia.

Pembahasan

Penulisan dalam pemikiran ini akan menggunakan pendekatan filosofis. Teori yang digunakan, mengenai pembangunan hukum dalam aspek substansi hukum, meskipun teori pembangunan hukum bersifat komprehensif dalam aspek substansi hukum, lembaga hukum, budaya hukum,[4]. Substansi hukum dapat dilihat dari perspektif filosofis, yang dipengaruhi situasi dinamika sosiologis (kemasyarakatan),[5]. Dimaksud filosofis, dalam hal ini, ialah akan mengelaborasi pemikiran inti dari para pendiri bangsa (the founding fathers), sebagai konfigurasi pemikiran inti dan filosofis,[6] disebut juga, sebagai forum ijtihad dan ideologis pada fase BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan. Dengan mengetahui forum ijtihad tersebut, maka akan dipersenyawakan dan ditranspormasikan dalam tataran substansi hukum, di setiap peraturan perundang – undangan yang berlaku kedepan.

Operasionalisasi teori pembangunan hukum, bahwa pembangunan hukum berkaitan dengan proses, tata cara, prosedur hukum untuk dibangun. Hal yang dibangun, dalam penekanan elaborasi substansi hukum. Sebagai antithesis, bahwa substansi hukum dalam hal ini, mengandung muatan substansi yang bertolak belakang (diametral) dari rechtsidee, yang berasal dari para pendiri bangsa Indonesia. Tarikan yang membawa arah substansi hukum untuk memperkuat kedaulatan individual, kemudian mengabaikan kedaulatan kolektif, maka berakibat arus liberalisme hukum bidang sumber daya alam. Disisi lain, substansi hukum dengan memperkuat kedaualatan individual, kemudian mengabaikan persenyawaan kedaulatan ketuhanan, hal ini akan berakibat arus liberalisme ketuhanan, disebut sekuler. Kedua, tantangan besar tersebut, mengagungkan arus individualisme yang tidak terkontrol dalam bidang sumber daya alam, disebut sebagai liberalisme sumber daya alam dan nilai ketuhanan, disebut liberalisme ketuhanan.     

Jawaban atas penguatan kedaualatan individualisme dalam bidang sumber daya alam, disebut sebagai liberalisme sumber daya alam. Sedangkan, penguatan kedaulatan individualisme dalam bidang ketuhanan, disebut liberalisme ketuhanan (sekuler). Sebuah upaya untuk menarik kembali rechtsidee pendiri bangsa (founding fathers), sebagai sintesis dari kedua tantangan besar terhadap substansi hukum tersebut. Tokoh para pendiri bangsa yang memberikan penekanan pemikiran terhadap anti liberalisme sumber daya alam yang dikuasai oleh individual (private) maupun liberalisme ranah ketuhanan sekuler, ialah arus tantangan bagi cita hukum (rechtsidee) bagi para pendiri bangsa Indonesia, dalam merumuskan ideologi bangsa dan negara. Bahwa para pendiri bangsa Indonesia, telah sepakat bahwa fundamentalisme ideologi bangsa harus dipersenyawai nilai – nilai ketuhanan, supaya tidak membawa arus sekuler. Hal ini dibuktikan, bahwa nilai ketuhanan yang paling banyak dibahas, dibicarakan, dalam forum BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan. Artinya, forum tersebut sebagai forum ijtihad dan forum ideologis.

Kuantitas diksi “ideologis” yang dipergunakan (perdebatkan) dalam forum BPUPKI dan PPKI,[7] dalam perumusan dasar dan ideologi Negara, sebagai berikut :

NO

 

PENYEBUTAN DIKSI

JUMLAH KUANTITATIF

KETERANGAN

1

Tuhan

92 kata

1.    Disampaikan oleh anggota (founding fathers) dalam sidang BPUPKI mulai tanggal 28 Mei – 16 Juli 1945 dan sidang PPKI tangga 18 – 19 Agustus 1945;

2.    Belum ada pidato Ki Bagus Hadikusumo, pada tanggal 31 Mei 1945,[8]

3.    Urutan, terbanyak / terbesar dalam gunakan diksi, yaitu :

a.       Islam (254 )

b.       Musyawarah (207)

c.       Perwakilan (180)

d.       Hukum (160)

e.       Daulat (Kedaulatan) (133)

f.        Persatuan (119)

g.       Rechtstaat (107)

h.       Tuhan (92) dan adil (92) 

2

Esa (Maha Esa)

17 kata

3

Kemanusiaan

52 kata

4

Adil (Keadilan)

92 kata

5

Adab (Beradab)

14 kata

6

Persatuan

119 kata

7

Kerakyatan

39 kata

8

Pimpin (Pemimpin)

28 kata

9

Hikmah

6 kata

10

Bijaksana

21 kata

11

Musyawarah (Permusyawaratan)

207  kata

12

Perwakilan

180 kata

13

Keadilan Sosial

19 kata

14

Ideologi

10 kata

15

Hukum

160 kata

16

Pancasila

6 kata

17

Individualisme

47 kata

18

Liberalisme

18 kata

19

Kapitalisme

9 kata

20

Sosialisme

6 kata

21

Komunisme

1 kata

22

Al-Qur’an

7 kata

23

Islam

254 kata

24

Imperialisme

41 kata

25

Kolonialisme

4 kata

26

Gotong Royong

22 kata

27

Daulat (Kedaulatan)

133 kata

28

Rechtstaat atau nationalstaat

107 kata

Sumber : Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang diolah penulis

Dalam sidang BPUPKI dari tanggal 28 Mei s/d 16 Juli 1945, dan sidang PPKI pada tanggal 18 s/d 19 Agustus 1945, para pendiri bangsa (the founding fathers) memiliki argumentasi untuk memasukkan ideologi yang hendak disepakati. Memasukkan ideologi dalam sebuah kesepakatan (al-ahdi) sebagai persenyawaan ideologis. Rentan waktu sidang BPUPKI mencangkup 3 (tiga) bulan, dari bulan Mei, Juni, Juli 1945, dihitung secara hari sekitar 49 (empat puluh Sembilan hari) dan ditambah sidang PPKI. Melakukan riset terhadap kata atau diksi ideologis yang digunakan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) dalam mempertahankan argumentasi ideologis. Dengan demikian, akan diketahui seberapa banyak para pendiri bangsa menggunakan diksi – diksi ideologis untuk mengargumentasikan pemikiran – pemikiran inti yang diperjuangkannya. Hal ini penting, karena untuk mengetahui suasana batin, perkembangan pemikiran, mengetahui arah dan orientasi ideologi yang dipersenyawakan dalam memperkuat negara hukum (rechtstaat) bernama Indonesia.

Dari 28 (dua puluh delapan) kata – kata ideologis. Kata ideologis ialah beasal dari kata – kata yang berkorelasi dengan penggunaan diksi dalam ideologi Pancasila. Bahwa ideologi Pancasila, sebagai ideologi Bangsa Indonesia, hal ini ditegaskan dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2018 tentang BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Selain kata yang terdapat dalam ideologi Pancasila, kata – kata ideologis yang digunakan argumentasi dalam merumuskan ideologi Pancasila. Diambil 8 (delapan) kata, dilihat dari tingkat penggunaan yang terbanyak, ialah (1). kata “Islam” sebanyak 254 kali / kata, (2). kata “musyawarah” sebanyak 207 kali / kata, (3). Kata “perwakilan” sebanyak 180 kali / kata, (4). Kata “daulat / kedaulatan” sebanyak 133 kali/kata, (5). Kata “hukum” sebanyak 160 kali / kata, (6). Kata “persatuan” sebanyak 119 kali / kata, (7). Kata “rechtstaat” sebanyak 107 kali / kata, (8). Kata “Tuhan’ sebanyak 92 kali / kata, dan kata “adil” sebanyak 92 kali / kata. Konfigurasi diksi ideologis, dalam forum BPUPKI dan PPKI dapat terlihat dalam jumlah kuantitas yang dipakai. Intensitas pemakaian diksi tersebut, sebagai konsistensi misi ideologis yang diperjuangkan oleh pendiri bangsa.

Dari 8 (delapan) kata – kata ideologis, merupakan terbesar / terbanyak, diantara 28 (dua puluh delapan) kata ideologis lainnya. Rentan waktu sidang BPUPKI dari tanggal 28 Mei s/d 16 Juli 1945 dan sidang PPKI 18 dan 19 Agustus 1945 ialah banyak membicarakan tentang agama Islam. Bahwa diksi Islam sebagai bagan diskusi, perdebatan, maupun penguatan argumentasi dalam perumusan ideologi Pancasila, dan pembukaan (preambule), serta pasal (batang tubuh) dalam Konstitusi UUD 1945. Sekian banyak, anggota BPUPKI sebanyak 67 orang dan PPKI sebanyak 27 orang, banyak memunculkan argumentasi tentang Islam, musyawarah, perwakilan, kedaulatan, hukum, persatuan, negara hukum (rechtstaat), Tuhan (Ketuhanan), adil (keadilan). Para pendiri bangsa (the founding fathers), sangat menghendaki bahwa Islam dapat memberikan persenyawaan dalam ideologi negara Indonesia, terbukti dalam perdebatan selalu menjustifikasi atas nama islam. Persenyawaan Islam yang masuk dalam ideologi Pancasila, pembukaan konstitusi maupun pasal – pasal konstitusi (batang tubuh). Ada irisan yang kuat, bahwa diksi dalam ideologi Pancasila dengan muncul banyak terdapat dalam diksi ideologis yang terdapat dalam forum BPUPKI dan PPKI tersebut.

Argumentasi islam yang ditranspormasikan pada pembahasan sila pertama, berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam forum BPUPKI adanya gagasan tentang “Presiden harus orang Islam”, dan gagasan “Agama yang resmi adalah Agama Islam”. Argumentasi pendiri bangsa saat itu, bahwa Islam adalah agama yang membebaskan, menunjung tinggi kemanusiaan, melindungi hajat hidup orang banyak, anti penindasan dan penjajahan. Diksi “ideologis” Islam dimaknai oleh pendiri bangsa, sebuah narasi persenyawaan Islam, yang menjadi arus utama. Para pendiri bangsa Indonesia, memiliki arah dan intensitas argumentasi Islam yang tertinggi, sehingga secara kuantitas pemilihan diksi – diksi ideologis yang digunakan, dengan mencapai kuantitas tertinggi. Para pendiri bangsa memperlihatkan dengan arah ideologis negara, terhadap suatu negara yang hendak dibangun (rancang) berdasar persenyawaan agama dan ketuhanan. Para pendiri bangsa menghendaki, bahwa negara ini tidak keluar dari rel esensi ketuhanan, sehingga mengakibatkan sebagai negara sekuler (seculer state). Meskipun, negara Indonesia tidak negara agama (religion state), tetapi agama menjadi persenyawaan untuk mengideologi, dalam setiap substansi hukum, sebagaimana para pendiri bangsa, yang selalu mendasarkan pada agama dalam setiap perumusan di forum BPUPKI dan PPKI. Ideologi Pancasila, yang didalamnya memiliki persenyawaan agamis (Islamis), karena proses internalisasi dari proses BPUPKI dan PPKI selalu melibatkan agama sebagai persenyawaan ideologi yang utama. Pada akhirnya, para pendiri bangsa membuahkan hasil kesepakatan dan kesaksian bernama ideologi Pancasila. Secara kuantitas, terdapat kemunculan diksi Islam yang tertinggi dibanding dengan diksi ideologis lainnya. Ideologi yang dirancang pendiri bangsa, sangat menghendaki tidak terjadi wujud negara sekuler, maupun negara agama. Negara agama, ialah menformalisasi hukum agama menjadi hukum negara. Sedangkan, negara sekuler, ialah memisahkan hukum agama dengan hukum dunia, hal ini bersifat dikotomis.

Esensi agama Islam, yang paling banyak dijadikan dasar dan perdebatan dalam perumusan ideologis. Diksi ideologis musyawarah (syuro’) terbanyak kedua, bahwa negara ini menghendaki persenyawaan musyawarah (syuro’) dalam menyelesaiakan perbedaan dan pandangan. Negara musyawarah – kekeluargaan yang dijiwai Islam, dapat menghasilkan perwakilan (wakil) yang dapat memperjuangkan esensi ketuhanan (teoisme), esensi kemanusiaan (humanisme), membebaskan (liberasi) diri manusia yang bertolak belakang dari kedaulatan (keutuhan manusia yang hakiki), manusia yang berdaulat, ialah tidak menindas dan tidak tertindas. Kedaulatan individu yang bersifat equality, kemudian menyatu untuk mendukung pada kedaulatan kolektif (negara), agar tercipta pengaturan, pengelolaan, pengawasan, kebijakan (P3K). kedaulatan kolektif yang mendistribusikan dan mengakomodir kedaulatan individual secara equality and balancing (setara dan berimbang).

Diksi ideologis kedaulatan (daulat), mendudukan pada peringkat terbanyak ke-4 (keempat), para pendiri bangsa mendasarkan tentang urgensi kedaulatan (daulat) pada suatu negara Indonesia kedepan. Hal ini, pararel dengan argumentasi Muh Hatta yang membentuk pada pasal 33 ayat (1), (2), (3) UUD 1945, sebagai pasal ideologis kedaulatan kolektif. Bahwa konstruksi pasal tersebut, mendudukkan bahwa tata kelola keekonomian dan sumber daya alam di Indonesia, didasarkan pada kedaulatan kolektif, yang didukung dari kedaulatan individual. Kedaualatn kolektif dengan spirit kebersamaan dan kekeluargaan, dapat kembali menghasilkan timbal balik kepada kedaulatan individual. Akan tetapi, kedaulatan individual yang tidak boleh menghegemoni, mendominasi, mengeksploitasi, menindas antara satu dengan lainnya, kedaulatan individu yang tidak boleh merusak kedaulatan kolektif. Kedaulatan kolektif yang memberikan kepastian, perlindungan, pengaturan, pengelolaan, pengawasan, kebijakan kepada kedaulatan individual agar bertuhan, memanusiakan manusia dan membebaskan dengan mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Menurut kuntowijoyo, yang melakukan elaborasi sila – sila Pancasila dengan surat Ali-Imron ayat (110),[9] bahwa sila Pancasila berkorelasi dengan kerangka profetik. Profetik dengan transedensi sebagai pelibatan ketuhanan, humanisasi sebagai memanusiakan manusia sesuai fitrohnya, liberasi sebagai pembebasan manusia dari keterbelakangan dan penindasan. Sila pertama Pancasila, sebagai senyawa ideologis ketuhanan yang identik dengan ketauhidan, sila kedua dan ketiga Pancasila, sebagai senyawa ideologi untuk menjunjung tinggi harkat, martabat kemanusiaan, sila keempat dan kelima Pancasila, sebagai senyawa ideologi untuk pembebasan manusia dari keterbelakangan, agar mencapai kemajuan dan keadilan sosial.

Perdebatan dalam BPUPK dan PPKI, secara pokok bahasan ideologis yang berisi persenyawaan – persenyawaan profetik. Didalamnya adanya dimensi transedensi, karena membicarakan tentang Tuhan (Allah SWT). Dimensi humanisasi, karena membicarakan kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan. Dimensi liberasi, karena membicarakan rakyat (kerakyatan), pemimpin (kepemimpinan), bijaksana (hikmat), musyawarah (permusyawaratan), keadilan sosial. Oleh karena itu, para pendiri bangsa (the founding fathers) memiliki ide hukum sebagai persenyawaan ideologis, agar kedepan bangsa Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan profetik berdimensi ketuhanan, kemanusiaan dan pembebasan.

Nilai profetik yang dikehendaki pendiri bangsa, yang tergambar dalam rechtidee tersebut, ditranspormasikan dalam tatanan hukum, agar memperkuat negara hukum (rechtstaat) Indonesia. Untuk memperkuat negara hukum Indonesia, dengan cara dimensi profetik tersebut di transpormasikan dalam persenyawaan substansi hukum didalamnya. Persenyawaan substansi hukum yang selalu disinari ketuhanan (transedensi), bahwa hukum yang selalu meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan. Transedensi yang terkonstruksi dalam pasal – pasal dengan mengandung ketuhanan, misalnya pasal yang memuat ketuhanan, penjelasan yang mengkaitkan dengan ketuhanan, pengutipan sebagai landasan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Fungsi utama persenyawaan ketuhanan dalam  hukum, agar menciptkanan keseimbangan, kedamaian, ketenangan, kebahagiaan kebatinan kepada rakyatnya. Ketuhanan yang terpantul dalam menjunjung tinggi misi kemanusiaan (humanisme) yang masuk dalam substansi hukum, bahwa hukum yang melindungi jatidiri dan fitroh kemanusiaan, misalnya pasal - pasal yang memberikan keperpihakan kepada kaum lemah, pasal – pasal tidak memberikan keperpihakan kepada kapitalis (borjuasi), penjelasan dalam undang – undang yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia (kemanusiaan). Ketuhanan yang terpantul dalam menjunjung tinggi misi pembebasan (liberasi), yang masuk dalam substansi hukum, bahwa hukum yang membebaskan dari pengaruh – pengaruh penjajahan (kolonialisasi), hegemoni, dominasi, yang mengakibatkan destruktif secara luas. Esensi pembebasan tersebut, agar manusia semakin maju sesuai fitrohnya. Misalnya pasal – pasal yang anti diskriminasi, anti dominasi pengusaha (investor), mengutamakan koperasi (kebersamaan).

Diksi ideologis yang dibahas dan diperdebatkan dalam forum BPUPKI dan PPKI tersebut diatas, secara konfigurasi pemikiran ideologis, tergambar dalam pemikiran para pendiri bangsa, adanya cita – cita yang fundamental terhadap negara hukum yang hendak di bangun. Cita – cita fundamental tersebut, terlihat dalam kemunculan terhadap banyaknya diksi yang disampaikannya. Bahwa negara hukum Indonesia yang ingin dipersenyawai ketuhanan (92 kali/kata) dan keislaman (254 kali/kata), hal ini termanifestasi dalam profetik – transedensi, bahwa negara Indonesia yang harus bersandarkan pada nilai ketuhanan, sehingga nilai ketuhanan menjadi sinar dan persenyawaan dalam negara hukum (rechtstaat) Indonesia.

Para pendiri bangsa Indonesia dalam perdebatan BPUPKI dan PPKI, diksi ideologis yang diperdebatkan secara kuantitas terbanyak, ialah diksi negara hukum (rechtstaat) sebanyak 107 kali/kata. Negara yang hendak di rancang bangun (rekonstruksi) bermodel negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Negara hukum yang berstandar pada pranata hukum, bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Namun, arus utama pranata hukum di Indonesia berdasar hukum tertulis, sehingga produk hukum yang dihasilkan oleh negara, dilakukan dalam proses pembentukan hukum dan substansi hukum (persenyawaan hukum) yang sesuai keindonesiaan. Persenyawaan keindonesiaan, sebagaimana standar para pendiri bangsa, berdasarkan diksi ideologis rechtstaat sebanyak 107 kali/kata. Hal ini menunjukkan, keseriusan untuk menegakkan bernama negara hukum. Eksistensi negara hukum yang dikehendaki, berbanding lurus dengan positifikasi dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Tantangan berikutnya, bahwa negara hukum yang didalamnya adanya kebijakan – kebijakan hukum yang mengandung ideologi yang bersumber dari para pendiri bangsa, yang terpositifikasi dalam bentuk norma.

Meskipun diksi ideologis yang muncul dalam perdebatan BPUPKI dan PPKI sudah terketahui, namun secara kristalisasi dan formulasi sudah termaktub dalam ideologi Pancasila. Posisi ideologi Pancasila, sebagai hasil ijtihad para pendiri bangsa, harus dilakukan komparasi dengan aspek sejarah, sehingga diketahui secara mendalam pemikiran inti hukum (rechtidee) para pendiri bangsa yang sesungguhnya, agar ditranspormasikan secara efektif dalam substansi hukum. Arus substansi hukum yang profetik, yang didalamnya memberikan energi persenyawaan transedensi, humanisasi, liberasi, yang berkorelasi dengan rechtsidee para pendiri bangsa Indonesia.

Penutup

Demikian narasi tulisan tentang rechtsidee founding fathers dalam hal pembangunan substansi hukum yang bersifat ideologis. Pembangunan substansi hukum yang harus dijiwai cita hukum yang berasal dari para pendiri bangsa Indonesia. Meskipun, ruang dan waktu saat ini berbeda dengan para saat para pendiri bangsa Indonesia, namun secara esensi sangat kontekstual dan tidak usang untuk menghadirkan cita hukum sebagai persenyawaan ideologis yang bersifat fundamental.

Kesimpulannya, bahwa untuk merekonstruksi substansi hukum yang harus dipersenyawakan dalam setiap pembangunan hukum. Meletakkan substansi hukum dalam konteks persenyawaan ketuhanan (agama) menjadi persenyawaan yang utama, karena para pendiri bangsa dalam perdebatan dan pembahasan agama menjadi intensitas yang paling utama dan terbanyak, agar substansi hukum tetap dalam persenyawaan agama, tidak terjadi penguatan kedaualatan individual yang tidak dipersenyawai agama, sehingga substansi hukum yang sekuler. Disisi lain, penguatan kedaulatan individual dalam bidang sumber daya alam dan ekonomi, kemudian menegasikan dalam kedaulatan kolektifisme, maka substansi hukum yang liberal.

Saran, dalam pembangunan substansi hukum pada era pasca reformasi, mengalami tantangan yang rumit. Pembangunan substansi hukum melalui proses legislasi dan proses yudikasi, dihadapkan tarikan substansi hukum yang mengarah ideologi liberalisme substansi hukum yang tidak dijiwai agama menjadi substansi hukum yang ideologi sekuler (liberalisme – sekuler) dan mengarah liberalisme substansi hukum sumber daya alam menjadi (liberalisme – kapitalisme).

Rekomendasi, dalam pembangunan substansi hukum diperlukan alat untuk memastikan rechtsidee dari pendiri bangsa Indonesia dapat mempersenyawai dalam substansi hukum. Setiap proses pembangunan substansi hukum dilakukannya, baik dalam ranah legislasi maupun yudikasi. Sebelum, masuk kedua ranah tersebut, adanya suatu lembaga dan alat untuk melakukan transpormasi cita hukum (rechtsidee) yang berasal dari para pendiri bangsa dilakukannya. Dengan demikian, lembaga tersebut, berfungsi optimal pada level hulu (awal) untuk validasi dan transpormasi rechtsidee founding fathers.

Bibliografi                                                                                  

Muhammad Yamin, 1959, Himpunan Risalah Sidang – Sidang Dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Tanggal 28 Mei – 16 Juli 1945 dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945 Yang Berhubungan Dengan Penyusunan Undang – Undang Dasar 1945, Jakarta : Sekretariat Negara Indonesia, Jilid Pertama.

 

Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pandjadjaran, Bandung, Penerbit Bina Cipta, Bandung.

 

______________________, (tanpa tahun), Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pandjadjaran, Bandung, Penerbit Bina Cipta, Bandung.

 

Ki Bagus Hadikusumo, 1945, Islam Sebagai Dasar Negara, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Haedar Nasir, dkk, 2014, Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan Yang Bermakna, Jakarta : PP Muhammadiyah.

 

Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan.

 



[1] Mahasiswa PDIH S3 UMS, Jln. A. Yani, Tromol Pos A.1, Pabelan, Kartasura, Email : nayaaminzaini@gmail.com

[2] Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jln. A.Yani, Tromol Pos A.1, Pabelan, Kartasura, Email : kdimyati@yahoo.com

[3]Fakultas Hukum Universitas Muhamamdiyah Surakarta, Jln. A. Yani, Tromol Pos A.1, Pabelan, Kartasura, Email : absori_ums@yahoo.co.id

[4] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pandjadjaran, Bandung, Penerbit Bina Cipta, Bandung, (tanpa tahun), hlm. 9-12.

[5] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pandjadjaran, Bandung, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm. 4

[6] Rechtsidee ialah cita hukum, sedangkan founding fathers ialah pendiri bangsa Indonesia. bahwa rechtsidee mempesenyawai dalam rechtstaat, bahwa cita hukum adalah jiwa dan persenyawaan yang menyelimuti hukum. persenyawaan tersebut berupa tertulis maupun tidak tertulis. Para pendiri bangsa memperdebatkan, formulasikan, mensepakati diksi – diksi yang mengandung ideologis. Forum ideologis tersebut terdapat dalam BPUPKI dan PPKI serta Panitia Sembilan. Lihat Muhammad Yamin, Himpunan Risalah Sidang – Sidang Dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Tanggal 28 Mei – 16 Juli 1945 dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945 Yang Berhubungan Dengan Penyusunan Undang – Undang Dasar 1945, Jakarta : Sekretariat Negara Indonesia, Jilid Pertama, 1959.

 

[7] Muhammad Yamin, Himpunan Risalah Sidang – Sidang Dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Tanggal 28 Mei – 16 Juli 1945 dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945 Yang Berhubungan Dengan Penyusunan Undang – Undang Dasar 1945, Jakarta : Sekretariat Negara Indonesia, Jilid Pertama, 1959.

[8] Ki Bagus Hadikusumo, Islam Sebagai Dasar Negara, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1945.

[9] Haedar Nasir, dkk, Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan Yang Bermakna, Jakarta : PP Muhammadiyah, 2014, hlm. 6-7, dan Lihat juga Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan. 1997, hlm 40-53.

 

RECHTSIDEE FOUNDING FATHERS SEBAGAI PEMBANGUNAN SUBSTANSI HUKUM RECHTSIDEE FOUNDING FATHERS SEBAGAI PEMBANGUNAN SUBSTANSI HUKUM Reviewed by Naya Amin Zaini on 21.07 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.