RECHTSIDEE FOUNDING FATHERS SEBAGAI PEMBANGUNAN SUBSTANSI HUKUM
RECHTSIDEE FOUNDING FATHERS SEBAGAI PEMBANGUNAN SUBSTANSI HUKUM
Naya Amin Zaini,[1]
Khudzaifah Dimyati,[2]
Absori,[3]
Abstrak
Rechtsidee sebagai ide (cita) hukum yang bersifat inti
(mendasar). Founding fathers ialah
pendiri bangsa yang aktif dalam mencurahkan pemikiran inti untuk orientasi ideologi
negara. Forum pemikiran inti tersebut, terdapat dalam BPUPKI, PPKI, Panitia
Sembilan, diidentikkan sebagai forum ijtihad-ideologis. Salah satu inti
pembahasan (ijtihad) yang mendasar,
tentang cita hukum (rechtsidee) dan
memperkuat negara hukum (rechtstaat).
Penguatan negara hukum, tidak terlepas dari konstruksi substansi hukum yang
dikehendaki sebagai jati diri Indonesia. Substansi hukum yang ditarik dari ide
hukum (rechtidee) pendiri bangsa,
ditranspormasikan dalam substansi hukum dalam ranah peraturan perundang –
undangan yang berlaku. Substansi hukum, dapat dilihat dari konfigurasi pokok bahasan
dan inti pemikiran yang berasal dari forum ijtihad-ideologis. Metode yang
digunakan untuk melakukan penelitian, ialah deduktif (umum ke khusus),
pendekatan filosofis, paradigma non doktriner, bahan hukum primer. Hipotesis
dalam penelitian tersebut, bahwa substansi hukum yang dimasukkan dalam tatanan
hukum, harus mendasarkan pada rechtsidee
dari para pendiri bangsa Indonesia.
Kata
Kunci : Rechtsidee founding fathers, substansi hukum.
Pendahuluan
Rechtsidee ialah cita hukum yang menyelimuti
hukum, baik hukum tertulis (writers)
maupun tidak tertulis (unwriters),
sebagai penegasan rechtstaat (negara
hukum). Rechtsidee dapat dikatakan
nyawa dan energi yang dapat menggerakkan arah hukum yang dikehendaki.
Manifestasi rechtsidee ialah norma –
norma yang tercantum dalam peraturan perundang – undangan. Persenyawaan
ideologis dari norma ialah rechtsidee
itu sendiri.
Rechtsidee diwujudkan oleh para pendiri bangsa
(the founding fathers) Indonesia.
Perwujudan tersebut, dapat dilihat dari pemikiran inti (core value) yang muncul pada konfugurasi perdebatan BPUPKI, PPKI,
Panitia Sembilan. Para tokoh tersebut, berpidato sebagai arah pemikiran yang
hendak dirancang bangun serta internalisasikan pada fundamentalisme negara.
Tokoh pendiri bangsa secara kategoris ada kalangan nasionalisme – islam dan ada
kalangan nasionalisme – kebangsaan. Ada juga, mengkategorikan nasionalisme –
islamisme dan nasionalisme – sekuler. Terlepas itu semua, persenyawaan rechtsidee yang muncul dapat diteliti
secara kuantitatif pada diksi ideologis yang muncul. Hal ini, dapat
menggambarkan arah rechtidee yang
hendak dibangun dalam memperkokoh tatanan negara hukum (rechtstaat) Indonesia.
Rechtsidee secara realitas akan dihadapkan
problematik dan tantangan yang bersifat komplek. Karena adanya tarik menarik
bendulum ideologis, para pembuat hukum akan memasukkan kepentingan hukum,
ekonomi, politik dalam substansi hukum, yang terjadi pada setiap proses
legislasi. Bagaimanapun juga, kepentingan hukum yang didasari atau
dipersenyawai ideologi hukum didalamnya, menjadi legitimasi hukum yang kuat.
Secara tarik – menarik ideologi hukum, ada yang mengandung ideologi hukum yang
memberikan penguatan atas justifikasi dan legitimasi hukum kearah penguatan
individual (private) disebut sebagai
ideologi hukum liberal, ada juga memberikan penguatan kearah penguatan kolektif
absolut. Penguatan individual dapat berwujud hegemoni dan dominasi penguasaan
sumber daya alam secara personal maupun private,
maupun menjauhkan nilai keperpihakan kemanusiaan dalam bingkai ketuhanan,
disebut teo-humanisme yang menjadi
cikal bakal arus sekulerisme. Makna dari penguatan kolektivisme absolute,
sebagai peniadakan dan menihilkan kedaulatan individual yang proposional.
Metode
penulisan yang digunakan dengan pendekatan filosofis. Paradigma penulisan yang
digunakan, lebih pada non doktriner. Kerangka berfikir dengan deduktif, ialah
dari umum ke khusus. Bahan yang digunakan, merupakan bahan hukum primer, berupa
dokumen risalah BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan. Pokok masalah yang disampaikan,
bagaimana membangun substansi hukum yang dijiwai oleh rechtsidee founding fathers di Indonesia.
Pembahasan
Penulisan
dalam pemikiran ini akan menggunakan pendekatan filosofis. Teori yang
digunakan, mengenai pembangunan hukum dalam aspek substansi hukum, meskipun
teori pembangunan hukum bersifat komprehensif dalam aspek substansi hukum,
lembaga hukum, budaya hukum,[4].
Substansi hukum dapat dilihat dari perspektif filosofis, yang dipengaruhi situasi
dinamika sosiologis (kemasyarakatan),[5].
Dimaksud filosofis, dalam hal ini, ialah akan mengelaborasi pemikiran inti dari
para pendiri bangsa (the founding fathers),
sebagai konfigurasi pemikiran inti dan filosofis,[6]
disebut juga, sebagai forum ijtihad dan ideologis pada fase BPUPKI, PPKI,
Panitia Sembilan. Dengan mengetahui forum ijtihad tersebut, maka akan dipersenyawakan
dan ditranspormasikan dalam tataran substansi hukum, di setiap peraturan
perundang – undangan yang berlaku kedepan.
Operasionalisasi
teori pembangunan hukum, bahwa pembangunan hukum berkaitan dengan proses, tata
cara, prosedur hukum untuk dibangun. Hal yang dibangun, dalam penekanan
elaborasi substansi hukum. Sebagai antithesis, bahwa substansi hukum dalam hal
ini, mengandung muatan substansi yang bertolak belakang (diametral) dari rechtsidee,
yang berasal dari para pendiri bangsa Indonesia. Tarikan yang membawa arah
substansi hukum untuk memperkuat kedaulatan individual, kemudian mengabaikan
kedaulatan kolektif, maka berakibat arus liberalisme hukum bidang sumber daya
alam. Disisi lain, substansi hukum dengan memperkuat kedaualatan individual,
kemudian mengabaikan persenyawaan kedaulatan ketuhanan, hal ini akan berakibat arus
liberalisme ketuhanan, disebut sekuler. Kedua, tantangan besar tersebut,
mengagungkan arus individualisme yang tidak terkontrol dalam bidang sumber daya
alam, disebut sebagai liberalisme sumber daya alam dan nilai ketuhanan, disebut
liberalisme ketuhanan.
Jawaban
atas penguatan kedaualatan individualisme dalam bidang sumber daya alam,
disebut sebagai liberalisme sumber daya alam. Sedangkan, penguatan kedaulatan
individualisme dalam bidang ketuhanan, disebut liberalisme ketuhanan (sekuler).
Sebuah upaya untuk menarik kembali rechtsidee
pendiri bangsa (founding fathers),
sebagai sintesis dari kedua tantangan besar terhadap substansi hukum tersebut.
Tokoh para pendiri bangsa yang memberikan penekanan pemikiran terhadap anti
liberalisme sumber daya alam yang dikuasai oleh individual (private) maupun liberalisme
ranah ketuhanan sekuler, ialah arus tantangan bagi cita hukum (rechtsidee) bagi para pendiri bangsa
Indonesia, dalam merumuskan ideologi bangsa dan negara. Bahwa para pendiri
bangsa Indonesia, telah sepakat bahwa fundamentalisme ideologi bangsa harus
dipersenyawai nilai – nilai ketuhanan, supaya tidak membawa arus sekuler. Hal
ini dibuktikan, bahwa nilai ketuhanan yang paling banyak dibahas, dibicarakan,
dalam forum BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan. Artinya, forum tersebut sebagai
forum ijtihad dan forum ideologis.
Kuantitas
diksi “ideologis” yang dipergunakan (perdebatkan) dalam forum BPUPKI dan PPKI,[7]
dalam perumusan dasar dan ideologi Negara, sebagai berikut :
NO |
PENYEBUTAN
DIKSI |
JUMLAH
KUANTITATIF |
KETERANGAN |
1 |
Tuhan |
92
kata |
1.
Disampaikan oleh anggota (founding fathers) dalam sidang BPUPKI
mulai tanggal 28
Mei – 16 Juli 1945 dan sidang PPKI tangga 18 – 19 Agustus 1945; 2.
Belum ada pidato Ki Bagus Hadikusumo, pada
tanggal 31 Mei 1945,[8] 3.
Urutan,
terbanyak / terbesar dalam gunakan diksi, yaitu : a.
Islam
(254 ) b.
Musyawarah
(207) c.
Perwakilan
(180) d.
Hukum
(160) e.
Daulat
(Kedaulatan) (133) f.
Persatuan
(119) g.
Rechtstaat (107) h.
Tuhan
(92) dan adil (92) |
2 |
Esa
(Maha Esa) |
17
kata |
|
3 |
Kemanusiaan
|
52
kata |
|
4 |
Adil
(Keadilan) |
92
kata |
|
5 |
Adab
(Beradab) |
14
kata |
|
6 |
Persatuan
|
119
kata |
|
7 |
Kerakyatan |
39
kata |
|
8 |
Pimpin
(Pemimpin) |
28
kata |
|
9 |
Hikmah
|
6
kata |
|
10 |
Bijaksana |
21
kata |
|
11 |
Musyawarah
(Permusyawaratan) |
207 kata |
|
12 |
Perwakilan |
180
kata |
|
13 |
Keadilan
Sosial |
19
kata |
|
14 |
Ideologi
|
10
kata |
|
15 |
Hukum
|
160
kata |
|
16 |
Pancasila |
6
kata |
|
17 |
Individualisme |
47
kata |
|
18 |
Liberalisme
|
18
kata |
|
19 |
Kapitalisme |
9
kata |
|
20 |
Sosialisme |
6
kata |
|
21 |
Komunisme |
1
kata |
|
22 |
Al-Qur’an |
7
kata |
|
23 |
Islam |
254
kata |
|
24 |
Imperialisme |
41
kata |
|
25 |
Kolonialisme |
4
kata |
|
26 |
Gotong
Royong |
22
kata |
|
27 |
Daulat (Kedaulatan) |
133 kata |
|
28 |
Rechtstaat
atau nationalstaat |
107
kata |
Sumber : Risalah Sidang BPUPKI dan
PPKI yang diolah penulis
Dalam sidang
BPUPKI dari tanggal 28 Mei s/d 16 Juli 1945, dan sidang PPKI pada tanggal 18
s/d 19 Agustus 1945, para pendiri bangsa (the
founding fathers) memiliki argumentasi untuk memasukkan ideologi yang
hendak disepakati. Memasukkan ideologi dalam sebuah kesepakatan (al-ahdi) sebagai persenyawaan ideologis.
Rentan waktu sidang BPUPKI mencangkup 3 (tiga) bulan, dari bulan Mei, Juni,
Juli 1945, dihitung secara hari sekitar 49 (empat puluh Sembilan hari) dan
ditambah sidang PPKI. Melakukan riset terhadap kata atau diksi ideologis yang
digunakan oleh para pendiri bangsa (founding
fathers) dalam mempertahankan argumentasi ideologis. Dengan demikian, akan
diketahui seberapa banyak para pendiri bangsa menggunakan diksi – diksi
ideologis untuk mengargumentasikan pemikiran – pemikiran inti yang
diperjuangkannya. Hal ini penting, karena untuk mengetahui suasana batin,
perkembangan pemikiran, mengetahui arah dan orientasi ideologi yang
dipersenyawakan dalam memperkuat negara hukum (rechtstaat) bernama Indonesia.
Dari
28 (dua puluh delapan) kata – kata ideologis. Kata ideologis ialah beasal dari
kata – kata yang berkorelasi dengan penggunaan diksi dalam ideologi Pancasila.
Bahwa ideologi Pancasila, sebagai ideologi Bangsa Indonesia, hal ini ditegaskan
dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2018 tentang BPIP (Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila). Selain kata yang terdapat dalam ideologi Pancasila, kata –
kata ideologis yang digunakan argumentasi dalam merumuskan ideologi Pancasila.
Diambil 8 (delapan) kata, dilihat dari tingkat penggunaan yang terbanyak, ialah
(1). kata “Islam” sebanyak 254 kali / kata, (2). kata “musyawarah” sebanyak 207
kali / kata, (3). Kata “perwakilan” sebanyak 180 kali / kata, (4). Kata “daulat
/ kedaulatan” sebanyak 133 kali/kata, (5). Kata “hukum” sebanyak 160 kali /
kata, (6). Kata “persatuan” sebanyak 119 kali / kata, (7). Kata “rechtstaat” sebanyak 107 kali / kata, (8).
Kata “Tuhan’ sebanyak 92 kali / kata, dan kata “adil” sebanyak 92 kali / kata.
Konfigurasi diksi ideologis, dalam
forum BPUPKI dan PPKI dapat terlihat dalam jumlah kuantitas yang dipakai.
Intensitas pemakaian diksi tersebut, sebagai konsistensi misi ideologis yang
diperjuangkan oleh pendiri bangsa.
Dari 8
(delapan) kata – kata ideologis, merupakan terbesar / terbanyak, diantara 28
(dua puluh delapan) kata ideologis lainnya. Rentan waktu sidang BPUPKI dari
tanggal 28 Mei s/d 16 Juli 1945 dan sidang PPKI 18 dan 19 Agustus 1945 ialah
banyak membicarakan tentang agama Islam. Bahwa diksi Islam sebagai bagan
diskusi, perdebatan, maupun penguatan argumentasi dalam perumusan ideologi
Pancasila, dan pembukaan (preambule),
serta pasal (batang tubuh) dalam Konstitusi UUD 1945. Sekian banyak, anggota
BPUPKI sebanyak 67 orang dan PPKI sebanyak 27 orang, banyak memunculkan
argumentasi tentang Islam, musyawarah, perwakilan, kedaulatan, hukum,
persatuan, negara hukum (rechtstaat),
Tuhan (Ketuhanan), adil (keadilan). Para pendiri bangsa (the founding fathers), sangat menghendaki bahwa Islam dapat
memberikan persenyawaan dalam ideologi negara Indonesia, terbukti dalam
perdebatan selalu menjustifikasi atas nama islam. Persenyawaan Islam yang masuk
dalam ideologi Pancasila, pembukaan konstitusi maupun pasal – pasal konstitusi
(batang tubuh). Ada irisan yang kuat, bahwa diksi dalam ideologi Pancasila dengan
muncul banyak terdapat dalam diksi ideologis yang terdapat dalam forum BPUPKI
dan PPKI tersebut.
Argumentasi
islam yang ditranspormasikan pada pembahasan sila pertama, berbunyi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Dalam forum BPUPKI adanya gagasan tentang “Presiden harus orang
Islam”, dan gagasan “Agama yang resmi adalah Agama Islam”. Argumentasi pendiri
bangsa saat itu, bahwa Islam adalah agama yang membebaskan, menunjung tinggi
kemanusiaan, melindungi hajat hidup orang banyak, anti penindasan dan
penjajahan. Diksi “ideologis” Islam dimaknai oleh pendiri bangsa, sebuah narasi
persenyawaan Islam, yang menjadi arus utama. Para pendiri bangsa Indonesia,
memiliki arah dan intensitas argumentasi Islam yang tertinggi, sehingga secara
kuantitas pemilihan diksi – diksi ideologis yang digunakan, dengan mencapai
kuantitas tertinggi. Para pendiri bangsa memperlihatkan dengan arah ideologis
negara, terhadap suatu negara yang hendak dibangun (rancang) berdasar
persenyawaan agama dan ketuhanan. Para pendiri bangsa menghendaki, bahwa negara
ini tidak keluar dari rel esensi ketuhanan, sehingga mengakibatkan sebagai negara
sekuler (seculer state). Meskipun,
negara Indonesia tidak negara agama (religion
state), tetapi agama menjadi persenyawaan untuk mengideologi, dalam setiap
substansi hukum, sebagaimana para pendiri bangsa, yang selalu mendasarkan pada
agama dalam setiap perumusan di forum BPUPKI dan PPKI. Ideologi Pancasila, yang
didalamnya memiliki persenyawaan agamis (Islamis), karena proses internalisasi
dari proses BPUPKI dan PPKI selalu melibatkan agama sebagai persenyawaan
ideologi yang utama. Pada akhirnya, para pendiri bangsa membuahkan hasil
kesepakatan dan kesaksian bernama ideologi Pancasila. Secara kuantitas,
terdapat kemunculan diksi Islam yang tertinggi dibanding dengan diksi ideologis
lainnya. Ideologi yang dirancang pendiri bangsa, sangat menghendaki tidak
terjadi wujud negara sekuler, maupun negara agama. Negara agama, ialah menformalisasi
hukum agama menjadi hukum negara. Sedangkan, negara sekuler, ialah memisahkan
hukum agama dengan hukum dunia, hal ini bersifat dikotomis.
Esensi
agama Islam, yang paling banyak dijadikan dasar dan perdebatan dalam perumusan
ideologis. Diksi ideologis musyawarah (syuro’)
terbanyak kedua, bahwa negara ini menghendaki persenyawaan musyawarah (syuro’) dalam menyelesaiakan perbedaan
dan pandangan. Negara musyawarah – kekeluargaan yang dijiwai Islam, dapat
menghasilkan perwakilan (wakil) yang dapat memperjuangkan esensi ketuhanan (teoisme), esensi kemanusiaan (humanisme), membebaskan (liberasi) diri
manusia yang bertolak belakang dari kedaulatan (keutuhan manusia yang hakiki),
manusia yang berdaulat, ialah tidak menindas dan tidak tertindas. Kedaulatan
individu yang bersifat equality, kemudian
menyatu untuk mendukung pada kedaulatan kolektif (negara), agar tercipta
pengaturan, pengelolaan, pengawasan, kebijakan (P3K). kedaulatan kolektif yang
mendistribusikan dan mengakomodir kedaulatan individual secara equality and balancing (setara dan
berimbang).
Diksi
ideologis kedaulatan (daulat), mendudukan pada peringkat terbanyak ke-4
(keempat), para pendiri bangsa mendasarkan tentang urgensi kedaulatan (daulat)
pada suatu negara Indonesia kedepan. Hal ini, pararel dengan argumentasi Muh
Hatta yang membentuk pada pasal 33 ayat (1), (2), (3) UUD 1945, sebagai pasal
ideologis kedaulatan kolektif. Bahwa konstruksi pasal tersebut, mendudukkan
bahwa tata kelola keekonomian dan sumber daya alam di Indonesia, didasarkan
pada kedaulatan kolektif, yang didukung dari kedaulatan individual. Kedaualatn
kolektif dengan spirit kebersamaan dan kekeluargaan, dapat kembali menghasilkan
timbal balik kepada kedaulatan individual. Akan tetapi, kedaulatan individual
yang tidak boleh menghegemoni, mendominasi, mengeksploitasi, menindas antara
satu dengan lainnya, kedaulatan individu yang tidak boleh merusak kedaulatan
kolektif. Kedaulatan kolektif yang memberikan kepastian, perlindungan,
pengaturan, pengelolaan, pengawasan, kebijakan kepada kedaulatan individual
agar bertuhan, memanusiakan manusia dan membebaskan dengan mendapatkan
kemakmuran dan kesejahteraan.
Menurut
kuntowijoyo, yang melakukan elaborasi sila – sila Pancasila dengan surat
Ali-Imron ayat (110),[9]
bahwa sila Pancasila berkorelasi dengan kerangka profetik. Profetik dengan transedensi
sebagai pelibatan ketuhanan, humanisasi sebagai memanusiakan manusia sesuai
fitrohnya, liberasi sebagai pembebasan manusia dari keterbelakangan dan
penindasan. Sila pertama Pancasila, sebagai senyawa ideologis ketuhanan yang
identik dengan ketauhidan, sila kedua dan ketiga Pancasila, sebagai senyawa
ideologi untuk menjunjung tinggi harkat, martabat kemanusiaan, sila keempat dan
kelima Pancasila, sebagai senyawa ideologi untuk pembebasan manusia dari
keterbelakangan, agar mencapai kemajuan dan keadilan sosial.
Perdebatan
dalam BPUPK dan PPKI, secara pokok bahasan ideologis yang berisi persenyawaan –
persenyawaan profetik. Didalamnya adanya dimensi transedensi, karena
membicarakan tentang Tuhan (Allah SWT). Dimensi humanisasi, karena membicarakan
kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan. Dimensi liberasi, karena
membicarakan rakyat (kerakyatan), pemimpin (kepemimpinan), bijaksana (hikmat),
musyawarah (permusyawaratan), keadilan sosial. Oleh karena itu, para pendiri
bangsa (the founding fathers)
memiliki ide hukum sebagai persenyawaan ideologis, agar kedepan bangsa
Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan profetik berdimensi ketuhanan,
kemanusiaan dan pembebasan.
Nilai
profetik yang dikehendaki pendiri bangsa, yang tergambar dalam rechtidee tersebut, ditranspormasikan
dalam tatanan hukum, agar memperkuat negara hukum (rechtstaat) Indonesia. Untuk memperkuat negara hukum Indonesia,
dengan cara dimensi profetik tersebut di transpormasikan dalam persenyawaan
substansi hukum didalamnya. Persenyawaan substansi hukum yang selalu disinari
ketuhanan (transedensi), bahwa hukum
yang selalu meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan. Transedensi yang
terkonstruksi dalam pasal – pasal dengan mengandung ketuhanan, misalnya pasal
yang memuat ketuhanan, penjelasan yang mengkaitkan dengan ketuhanan, pengutipan
sebagai landasan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Fungsi utama persenyawaan
ketuhanan dalam hukum, agar menciptkanan
keseimbangan, kedamaian, ketenangan, kebahagiaan kebatinan kepada rakyatnya.
Ketuhanan yang terpantul dalam menjunjung tinggi misi kemanusiaan (humanisme) yang masuk dalam substansi
hukum, bahwa hukum yang melindungi jatidiri dan fitroh kemanusiaan, misalnya
pasal - pasal yang memberikan keperpihakan kepada kaum lemah, pasal – pasal tidak
memberikan keperpihakan kepada kapitalis (borjuasi), penjelasan dalam undang –
undang yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia (kemanusiaan).
Ketuhanan yang terpantul dalam menjunjung tinggi misi pembebasan (liberasi),
yang masuk dalam substansi hukum, bahwa hukum yang membebaskan dari pengaruh –
pengaruh penjajahan (kolonialisasi), hegemoni, dominasi, yang mengakibatkan
destruktif secara luas. Esensi pembebasan tersebut, agar manusia semakin maju
sesuai fitrohnya. Misalnya pasal – pasal yang anti diskriminasi, anti dominasi
pengusaha (investor), mengutamakan koperasi (kebersamaan).
Diksi
ideologis yang dibahas dan diperdebatkan dalam forum BPUPKI dan PPKI tersebut
diatas, secara konfigurasi pemikiran ideologis, tergambar dalam pemikiran para
pendiri bangsa, adanya cita – cita yang fundamental terhadap negara hukum yang
hendak di bangun. Cita – cita fundamental tersebut, terlihat dalam kemunculan
terhadap banyaknya diksi yang disampaikannya. Bahwa negara hukum Indonesia yang
ingin dipersenyawai ketuhanan (92 kali/kata) dan keislaman (254 kali/kata), hal
ini termanifestasi dalam profetik – transedensi, bahwa negara Indonesia yang harus
bersandarkan pada nilai ketuhanan, sehingga nilai ketuhanan menjadi sinar dan
persenyawaan dalam negara hukum (rechtstaat)
Indonesia.
Para
pendiri bangsa Indonesia dalam perdebatan BPUPKI dan PPKI, diksi ideologis yang
diperdebatkan secara kuantitas terbanyak, ialah diksi negara hukum (rechtstaat) sebanyak 107 kali/kata.
Negara yang hendak di rancang bangun (rekonstruksi) bermodel negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Negara hukum yang
berstandar pada pranata hukum, bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Namun,
arus utama pranata hukum di Indonesia berdasar hukum tertulis, sehingga produk
hukum yang dihasilkan oleh negara, dilakukan dalam proses pembentukan hukum dan
substansi hukum (persenyawaan hukum) yang sesuai keindonesiaan. Persenyawaan
keindonesiaan, sebagaimana standar para pendiri bangsa, berdasarkan diksi
ideologis rechtstaat sebanyak 107
kali/kata. Hal ini menunjukkan, keseriusan untuk menegakkan bernama negara
hukum. Eksistensi negara hukum yang dikehendaki, berbanding lurus dengan
positifikasi dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Tantangan berikutnya, bahwa
negara hukum yang didalamnya adanya kebijakan – kebijakan hukum yang mengandung
ideologi yang bersumber dari para pendiri bangsa, yang terpositifikasi dalam
bentuk norma.
Meskipun
diksi ideologis yang muncul dalam perdebatan BPUPKI dan PPKI sudah terketahui,
namun secara kristalisasi dan formulasi sudah termaktub dalam ideologi
Pancasila. Posisi ideologi Pancasila, sebagai hasil ijtihad para pendiri
bangsa, harus dilakukan komparasi dengan aspek sejarah, sehingga diketahui
secara mendalam pemikiran inti hukum (rechtidee)
para pendiri bangsa yang sesungguhnya, agar ditranspormasikan secara efektif
dalam substansi hukum. Arus substansi hukum yang profetik, yang didalamnya memberikan
energi persenyawaan transedensi, humanisasi, liberasi, yang berkorelasi dengan rechtsidee para pendiri bangsa
Indonesia.
Penutup
Demikian
narasi tulisan tentang rechtsidee
founding fathers dalam hal pembangunan substansi hukum yang bersifat
ideologis. Pembangunan substansi hukum yang harus dijiwai cita hukum yang
berasal dari para pendiri bangsa Indonesia. Meskipun, ruang dan waktu saat ini
berbeda dengan para saat para pendiri bangsa Indonesia, namun secara esensi
sangat kontekstual dan tidak usang untuk menghadirkan cita hukum sebagai
persenyawaan ideologis yang bersifat fundamental.
Kesimpulannya,
bahwa untuk merekonstruksi substansi hukum yang harus dipersenyawakan dalam setiap
pembangunan hukum. Meletakkan substansi hukum dalam konteks persenyawaan
ketuhanan (agama) menjadi persenyawaan yang utama, karena para pendiri bangsa
dalam perdebatan dan pembahasan agama menjadi intensitas yang paling utama dan
terbanyak, agar substansi hukum tetap dalam persenyawaan agama, tidak terjadi
penguatan kedaualatan individual yang tidak dipersenyawai agama, sehingga
substansi hukum yang sekuler. Disisi lain, penguatan kedaulatan individual
dalam bidang sumber daya alam dan ekonomi, kemudian menegasikan dalam
kedaulatan kolektifisme, maka substansi hukum yang liberal.
Saran,
dalam pembangunan substansi hukum pada era pasca reformasi, mengalami tantangan
yang rumit. Pembangunan substansi hukum melalui proses legislasi dan proses
yudikasi, dihadapkan tarikan substansi hukum yang mengarah ideologi liberalisme
substansi hukum yang tidak dijiwai agama menjadi substansi hukum yang ideologi sekuler
(liberalisme – sekuler) dan mengarah liberalisme substansi hukum sumber daya
alam menjadi (liberalisme – kapitalisme).
Rekomendasi, dalam pembangunan substansi hukum diperlukan alat untuk memastikan rechtsidee dari pendiri bangsa Indonesia dapat mempersenyawai dalam substansi hukum. Setiap proses pembangunan substansi hukum dilakukannya, baik dalam ranah legislasi maupun yudikasi. Sebelum, masuk kedua ranah tersebut, adanya suatu lembaga dan alat untuk melakukan transpormasi cita hukum (rechtsidee) yang berasal dari para pendiri bangsa dilakukannya. Dengan demikian, lembaga tersebut, berfungsi optimal pada level hulu (awal) untuk validasi dan transpormasi rechtsidee founding fathers.
Bibliografi
Muhammad Yamin, 1959, Himpunan Risalah Sidang – Sidang Dari Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Tanggal 28 Mei – 16
Juli 1945 dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Tanggal 18 dan 19
Agustus 1945 Yang Berhubungan Dengan Penyusunan Undang – Undang Dasar 1945,
Jakarta : Sekretariat Negara Indonesia, Jilid Pertama.
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian
Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pandjadjaran, Bandung,
Penerbit Bina Cipta, Bandung.
______________________, (tanpa tahun), Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan
Hukum, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas
Pandjadjaran, Bandung, Penerbit Bina Cipta, Bandung.
Ki
Bagus Hadikusumo, 1945, Islam Sebagai
Dasar Negara, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Haedar Nasir, dkk, 2014, Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan Yang
Bermakna, Jakarta : PP Muhammadiyah.
Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat
Islam, Bandung : Mizan.
[1]
Mahasiswa
PDIH S3 UMS, Jln. A. Yani, Tromol Pos A.1, Pabelan, Kartasura, Email :
nayaaminzaini@gmail.com
[2]
Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jln. A.Yani, Tromol Pos A.1, Pabelan,
Kartasura, Email : kdimyati@yahoo.com
[3]Fakultas
Hukum Universitas Muhamamdiyah Surakarta, Jln. A. Yani, Tromol Pos A.1,
Pabelan, Kartasura, Email : absori_ums@yahoo.co.id
[4]
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum
Dalam Rangka Pembangunan Hukum, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi
Fakultas Hukum Universitas Pandjadjaran, Bandung, Penerbit Bina Cipta, Bandung,
(tanpa tahun), hlm. 9-12.
[5]
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat
dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi
Fakultas Hukum Universitas Pandjadjaran, Bandung, Penerbit Bina Cipta, Bandung,
1976, hlm. 4
[6]
Rechtsidee ialah cita hukum,
sedangkan founding fathers ialah
pendiri bangsa Indonesia. bahwa rechtsidee
mempesenyawai dalam rechtstaat, bahwa
cita hukum adalah jiwa dan persenyawaan yang menyelimuti hukum. persenyawaan
tersebut berupa tertulis maupun tidak tertulis. Para pendiri bangsa
memperdebatkan, formulasikan, mensepakati diksi – diksi yang mengandung
ideologis. Forum ideologis tersebut terdapat dalam BPUPKI dan PPKI serta
Panitia Sembilan. Lihat Muhammad Yamin, Himpunan
Risalah Sidang – Sidang Dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) Tanggal 28 Mei – 16 Juli 1945 dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945 Yang Berhubungan
Dengan Penyusunan Undang – Undang Dasar 1945, Jakarta : Sekretariat Negara
Indonesia, Jilid Pertama, 1959.
[7]
Muhammad Yamin, Himpunan Risalah Sidang –
Sidang Dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Tanggal 28 Mei – 16 Juli 1945 dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) Tanggal 18 dan 19 Agustus 1945 Yang Berhubungan Dengan Penyusunan Undang
– Undang Dasar 1945, Jakarta : Sekretariat Negara Indonesia, Jilid Pertama,
1959.
[8]
Ki Bagus Hadikusumo, Islam Sebagai Dasar
Negara, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1945.
[9]
Haedar Nasir, dkk, Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan Yang
Bermakna, Jakarta : PP Muhammadiyah, 2014, hlm. 6-7, dan Lihat juga Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan.
1997, hlm 40-53.
Tidak ada komentar: